Friday, May 23, 2014

Receive to Glory

Oleh: Siti Fauziyah
Saat ini menempuh studi pendidikannya di jenjang MA. Hidayatut Thalibin dan aktiv sebagai anggota Unit Kegiatan Pengembangan Intelektual OSIS periode 2013-2014.



Berabad-abad Sebelum Masehi, Pythagoras pernah merenungkan hidup ini dalam-dalam dan berkesimpulan, bahwa segala yang ada (being) selalu berpasang-pasangan sekaligus berlawanan. Seumpama baik dan buruk, hitam dan putih, dan seterusnya, dan seterusnya. Jadi, hidup ini sebenarnya merupakan rangkaian paradoks yang saling melengkapi dan menciptakan keseimbangan tersendiri.
Seseorang akan mengalami kegagalan dalam suatu waktu dan keberhasilan di waktu yang lain. Tidak mungkin melulu gagal atau melulu berhasil, juga mustahil dalam satu hal pada waktu yang bersamaan mengalami kegagalan dan keberhasilan sekaligus. Jika seseorang yang belajar menulis huruf A berhasil menuliskannya, tidak mungkin di saat yang sama ia gagal menulis huruf itu. Tetapi, mungkin saja sebelum ia berhasil memang pernah gagal. Atau, setelah berhasil lantas ia gagal karena lupa bagaimana menuliskannya.
Pastinya, setiap orang tidak menginginkan kegagalan bagi diri dan kelompoknya sendiri. Karena kegagalan dan keberhasilan menyangkut harga diri personal maupun kolektif. Saat seseorang atau kelompoknya berhasil, harga dirinya akan terangkat, begitu pun sebaliknya. Karena itulah, kerendahan hati menjadi penting bagi siapa pun saja untuk selalu mawas diri, menjaga kemungkinan kalau-kalau nanti mengalami kegagalan. Setidaknya, dengan kerendahan hati menjadikan kegagalan tidak mengakibatkan jatuhnya harga diri yang sangat fatal.
Kegagalan ada karena ada sebab sebagai segala sesuatu yang memengaruhi keberadaannya. Sebab ada tukang, ada tujuan, ada alat, ada bahan, maka sebuah kursi menjadi kursi seperti yang mungkin sekarang kita duduki. Begitu juga kegagalan. Ia tidak serta merta ada dengan sendirinya. Bahkan segala yang ada sekalipun ada karena ada yang lain, kecuali substansi yang mandiri dan independen dalam jagat semesta wujud ini –karena substansi merupakan sebab pertama.
Dari rangkain pemikiran ini, menggiring kita pada sebuah tanda tanya besar: kira-kira, apakah yang menyebabkan sebuah organisasi stagnan? Pertanyaan ini perlu kita ajukan di sini, mengingat OSIS kita belakangan sering digembar-gemborkan sebagai organisasi yang stagnan, dan, kalau demikian OSIS dapat dianggap sebagai organisasi yang gagal. Akan tetapi, apakah stigma itu sendiri dapat dibenarkan? Lagi-lagi ini menjadi tanda tanya besar yang mendesak segera dituntaskan.
Orang boleh saja mengklaim ini dan itu. Cuma, perlu ditekankan di sini, bahwa setiap klaim apapun idealnya harus didasarkan pada suatu pembuktian yang concern dengan realitas. Sehingga, klaim semacam itu tidak sekedar tong kosong. Dan realitas yang seperti apapun juga, jika memang apa adanya tidak sepantasnya didustakan, betapapun itu oleh seorang dewa sekalipun. Karena mengingkari kebenaran sama saja dengan kita mengatakan merupakan kegilaan.
Dalam konteks pertanyaan-pertanyaan berusan, yang pertama perlu kita luruskan bahwa OSIS tidak sepenuhnya mandek, stagnan, atau sama sekali tidak berjalan. Beberapa program memang harus diakui, sebagiannya tidak terlaksana dan tetap menjadi ide yang hampa dalam lembar-lembar agenda yang mungkin sudah terlupakan. Tetapi, sebagian yang lain bisa kita saksikan dalam sederet dokumentasi OSIS itu sendiri, mulai dari foto-foto acara dan sebagainya.
Organisasi apapun, termasuk OSIS, dapat suatu waktu menjadi stagnan kalau di dalamnya terdapat beberapa hal yang, dalam hemat penulis, meliputi: (1) hantaman krisis kepemimpinan (leadership). Sudah mafhum, kepemimpinan memegang peranan paling signifikan dalam menentukan progres-tidaknya sebuah organisasi. Tanpa kepemimpinan yang ideal, eksistensi organisasi tinggal menunggu waktu untuk segera lenyap dari permukaan.
(2) Organisasi kurang memperoleh dukungan dari berbagai pihak, baik dalam konteks internal maupun eksternal organisasi. (3) Organisasi tidak lagi memiliki regenerasi sama sekali di tengah membeludaknya pertumbuhan organisasi-organisasi baru di pentas modernitas. Dan (4) Banyaknya program mengakibatkan benturan program tak terhindarkan. Kondisi ini, pada gilirannya menimbulkan situasi chaos.
Sampai di sini, untuk menyambut kejayaan, sebuah organisasi perlu menyelesaikan problematikanya dahulu sampai ke akar-akarnya. Jadi, bukan seperti membersihkan rumput di halaman: rumputnya dipotong, akarnya dibiarkan. Alhasil, tumbuhlah rumput itu kembali.


No comments:

Post a Comment