Oleh: Siti Fauziyah
Saat ini menempuh studi pendidikannya di jenjang MA. Hidayatut Thalibin dan aktiv sebagai anggota Unit Kegiatan Pengembangan Intelektual OSIS periode 2013-2014.
Saat ini menempuh studi pendidikannya di jenjang MA. Hidayatut Thalibin dan aktiv sebagai anggota Unit Kegiatan Pengembangan Intelektual OSIS periode 2013-2014.
Berabad-abad Sebelum Masehi, Pythagoras
pernah merenungkan hidup ini dalam-dalam dan berkesimpulan, bahwa segala yang
ada (being) selalu berpasang-pasangan sekaligus berlawanan. Seumpama
baik dan buruk, hitam dan putih, dan seterusnya, dan seterusnya. Jadi, hidup
ini sebenarnya merupakan rangkaian paradoks yang saling melengkapi dan
menciptakan keseimbangan tersendiri.
Seseorang akan mengalami kegagalan dalam
suatu waktu dan keberhasilan di waktu yang lain. Tidak mungkin melulu gagal
atau melulu berhasil, juga mustahil dalam satu hal pada waktu yang bersamaan
mengalami kegagalan dan keberhasilan sekaligus. Jika seseorang yang belajar
menulis huruf A berhasil menuliskannya, tidak mungkin di saat yang sama ia
gagal menulis huruf itu. Tetapi, mungkin saja sebelum ia berhasil memang pernah
gagal. Atau, setelah berhasil lantas ia gagal karena lupa bagaimana
menuliskannya.
Pastinya, setiap orang tidak
menginginkan kegagalan bagi diri dan kelompoknya sendiri. Karena kegagalan dan
keberhasilan menyangkut harga diri personal maupun kolektif. Saat seseorang
atau kelompoknya berhasil, harga dirinya akan terangkat, begitu pun sebaliknya.
Karena itulah, kerendahan hati menjadi penting bagi siapa pun saja untuk selalu
mawas diri, menjaga kemungkinan kalau-kalau nanti mengalami kegagalan.
Setidaknya, dengan kerendahan hati menjadikan kegagalan tidak mengakibatkan
jatuhnya harga diri yang sangat fatal.
Kegagalan ada karena ada sebab sebagai
segala sesuatu yang memengaruhi keberadaannya. Sebab ada tukang, ada tujuan,
ada alat, ada bahan, maka sebuah kursi menjadi kursi seperti yang mungkin
sekarang kita duduki. Begitu juga kegagalan. Ia tidak serta merta ada dengan
sendirinya. Bahkan segala yang ada sekalipun ada karena ada yang lain, kecuali
substansi yang mandiri dan independen dalam jagat semesta wujud ini –karena
substansi merupakan sebab pertama.
Dari rangkain pemikiran ini, menggiring
kita pada sebuah tanda tanya besar: kira-kira, apakah yang menyebabkan sebuah
organisasi stagnan? Pertanyaan ini perlu kita ajukan di sini, mengingat OSIS
kita belakangan sering digembar-gemborkan sebagai organisasi yang stagnan, dan,
kalau demikian OSIS dapat dianggap sebagai organisasi yang gagal. Akan tetapi,
apakah stigma itu sendiri dapat dibenarkan? Lagi-lagi ini menjadi tanda tanya
besar yang mendesak segera dituntaskan.
Orang boleh saja mengklaim ini dan itu.
Cuma, perlu ditekankan di sini, bahwa setiap klaim apapun idealnya harus
didasarkan pada suatu pembuktian yang concern dengan realitas. Sehingga,
klaim semacam itu tidak sekedar tong kosong. Dan realitas yang seperti apapun
juga, jika memang apa adanya tidak sepantasnya didustakan, betapapun itu oleh
seorang dewa sekalipun. Karena mengingkari kebenaran sama saja dengan kita
mengatakan merupakan kegilaan.
Dalam konteks pertanyaan-pertanyaan
berusan, yang pertama perlu kita luruskan bahwa OSIS tidak sepenuhnya mandek,
stagnan, atau sama sekali tidak berjalan. Beberapa program memang harus diakui,
sebagiannya tidak terlaksana dan tetap menjadi ide yang hampa dalam
lembar-lembar agenda yang mungkin sudah terlupakan. Tetapi, sebagian yang lain
bisa kita saksikan dalam sederet dokumentasi OSIS itu sendiri, mulai dari
foto-foto acara dan sebagainya.
Organisasi apapun, termasuk OSIS, dapat
suatu waktu menjadi stagnan kalau di dalamnya terdapat beberapa hal yang, dalam
hemat penulis, meliputi: (1) hantaman krisis kepemimpinan (leadership).
Sudah mafhum, kepemimpinan memegang peranan paling signifikan dalam menentukan
progres-tidaknya sebuah organisasi. Tanpa kepemimpinan yang ideal, eksistensi
organisasi tinggal menunggu waktu untuk segera lenyap dari permukaan.
(2) Organisasi kurang memperoleh
dukungan dari berbagai pihak, baik dalam konteks internal maupun eksternal
organisasi. (3) Organisasi tidak lagi memiliki regenerasi sama sekali di tengah
membeludaknya pertumbuhan organisasi-organisasi baru di pentas modernitas. Dan
(4) Banyaknya program mengakibatkan benturan program tak terhindarkan. Kondisi
ini, pada gilirannya menimbulkan situasi chaos.
Sampai di sini, untuk menyambut
kejayaan, sebuah organisasi perlu menyelesaikan problematikanya dahulu sampai
ke akar-akarnya. Jadi, bukan seperti membersihkan rumput di halaman: rumputnya
dipotong, akarnya dibiarkan. Alhasil, tumbuhlah rumput itu kembali.
No comments:
Post a Comment