Ach.
Bahri: Pangeran Bersenjata Kata
24 tahun silam, tepatnya di Kampung
Bikertah Dajah, Dusun Rembang, Desa Pragaan Dajah, Kecamatan Pragaan, Harisah
sedang berjuang mempertaruhkan hidupnya sendiri demi sebuah kelahiran yang
menyakitkan. Perjuangan itu berakhir dengan indah. Harisah dan bayi yang
dilahirkannya selamat. Bayi inilah yang kelak dianugrahi sebuah nama: Ahmad
Bahri.
Harisah dan Rifa’e bukanlah sepasang
pangeran dan putri istana. Mereka tidak hidup dalam gemerlap dunia. Kehidupan
mereka sangat sederhana. Apalagi ketika hubungan mereka pernah renggang selama
bertahun-tahun, Harisah harus menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga
dengan bekerja sebagai penjaja tahu dan bulung dari kampung ke kampung.
Penghasilan Harisah tidaklah seberapa, berkisar
hanya Rp. 20.000 perbulan. Tak tega, setiap turun sekolah atau saat-saat libur,
Mas Ari kecil sering membantu ibunya menjajakan jualan berkeling kampung. Mas
Ari kecil ketika itu bersekolah di MI. Hidayatut Thalibin, tak jauh di sekitar
rumahnya. Kegiatan membantu ibunya ini berlangsung sampai ia duduk di bangku
MTs pada pesantren yang sama.
Nyaris Drop Out
Tahun 2005, Mas Ari sukses menamatkan
pendidikan di jenjang MTs. Kelulusan yang membahagiakan sekaligus menyimpan
kegetiran. Bahagia karena lulus, getir karena mungkin ini yang terakhir kalinya
ia merasakan bangku sekolah. Mas Ari terancam drop out. Di satu sisi,
harapan untuk tetap melanjutkan pendidikan masih tersisa. Tetapi harapan itu
terlalu kecil kemungkinan dapat ia wujudkan.
Biaya pendidikan semakin mahal.
Sementara ekonomi keluarga tidak lagi memungkinkan dapat menutupi semua
kekurangan. Kini, ia hanya bisa menantikan keajaibaan. Dan Tuhan mengabulkan
harapannya. Yayasan Pondok Pesantren Hidayatut Thalibin bersedia menggratiskan
biaya pendidikan bagi anak-anak kaum dhu‘afâ’. Ini merupakan program
mekanisme keadilan sosial yang paling manusiawi.
Bahkan, di tahun yang sama, ia diberi
kesempatan menjadi santri mukim di Pondok Pesantren Hidayatut Thalibin. Mas Ari
tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia bergiat diri untuk belajar dan terus
belajar secara intens di lingkungan barunya. Ia membuktikan kesungguhannya
dalam berbagai hal. Aktivitas membaca dan menulisnya semakin gencar. Dan
sebagai bukti nyata, artikelnya pernah menembus media massa (Radar Madura: Jawa
Pos Group) melalui bantuan Dr. S. Fathurrosyid, S.Th.I, M.Th.I, PKM. Kesiswaan
MA ketika itu.
Deklamator yang Haus Prestasi
Sejak MI, minatnya pada puisi mulai
kelihatan. Ia sering tampil membacakan puisi-puisi dalam forum Jam’iyyah
al-Khithâbiyyah setiap Kamis malam. Bakat membaca puisi ini membuat ia
sering juara pada saat Haflah. Di MTs, minat Mas Ari pada dunia sastra
semakin meningkat dengan kehadiran KM. Naufal, S.Pd.I sebagai guru bahasa
Indonesia. Kemampuannya juga bertambah pesat, dari semula hanya bisa membaca
menjadi bisa menulis.
Memasuki MA adalah masa-masa di mana ia
benar-benar haus prestasi. Berbagai ajang festival baca puisi diikutinya,
termasuk di gedung RRI Sumenep. Tak heran jika berbagai penghargaan telah ia
terima. Ini tentu suatu kebanggaan tersendiri bagi dirinya, keluarga, dan
almamater tercinta.
Kuliah Berbekal Tekad
Setamat MA. Hidayatut Thalibin, STAIN
Pamekasan merupakan satu-satunya pilihan yang tidak boleh tidak. Padahal, biaya
pendaftaran ketika itu sangat mahal, sekitar Rp. 1.200.000. Sementara di saat
yang sama, ia hanya mempunyai uang Rp. 700.000. Tetapi, tekadnya untuk
berkuliah telah bulat di dadanya. Maka ia berusaha sekuat tenaga untuk mencari
sisa biaya pendaftaran.
Di STAIN Pamekasan, saat itu SPP
bernilai seharga Rp. 600.000 persemester. Bagi keluarganya yang miskin, uang
sebanyak itu tidak mungkin bisa dipenuhi. Tetapi Mas Ari punya satu prinsip,
bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Jika keluarganya tidak bisa
membantu, satu-satunya jalan ia harus bekerja dan bekerja. Bekerja apa saja
selama itu halal, dan pilihannya jatuh pada operator warnet.
Selain bekerja, Mas Ari juga aktif di
berbagai organisasi, baik intra maupun ekstra kampus. Hidup di luar, tidak ada
yang bisa diandalkan kecuali teman. Semakin banyak teman, semakin
menguntungkan. Untuk memperkaya jaringan seperti itu, seseorang perlu bergabung
dalam organisasi. Tetapi, Mas Ari punya alasan tersendiri mengapa ia
berorganisasi. Katanya, selain untuk silaturrahim dan menambah pengetahuan, berorganisasi
juga dimaksudkannya untuk membangun kepribadian.
Menjadi Jurnalis
Potensi jurnalistiknya ditempa pada saat
ia bergabung dalam LPM STAIN. Mas Ari memang mencintai kata-kata untuk menemani
kebiasaan menulisnya sejak di pondok. Kecintaan inilah yang menggiring
ambisinya untuk menjadi seorang jurnalis. Hingga kini, telah banyak berita ia
buat untuk Harian Pagi Suara Madura.
Mas Ari menuturkan kunci suksesnya
sebelum ia menjadi seperti sekarang: (1) kemauan yang keras; (2) istiqâmah dalam
berproses; (3) belajar dari kesalahan; (4) memperbanyak referensi; (5) jangan
seperti kacang lupa kulitnya; dan (6) jangan pernah gengsi.
No comments:
Post a Comment