Friday, May 23, 2014

NOSTALGIA ALUMNI



Ach. Bahri: Pangeran Bersenjata Kata




24 tahun silam, tepatnya di Kampung Bikertah Dajah, Dusun Rembang, Desa Pragaan Dajah, Kecamatan Pragaan, Harisah sedang berjuang mempertaruhkan hidupnya sendiri demi sebuah kelahiran yang menyakitkan. Perjuangan itu berakhir dengan indah. Harisah dan bayi yang dilahirkannya selamat. Bayi inilah yang kelak dianugrahi sebuah nama: Ahmad Bahri.
Harisah dan Rifa’e bukanlah sepasang pangeran dan putri istana. Mereka tidak hidup dalam gemerlap dunia. Kehidupan mereka sangat sederhana. Apalagi ketika hubungan mereka pernah renggang selama bertahun-tahun, Harisah harus menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga dengan bekerja sebagai penjaja tahu dan bulung dari kampung ke kampung.
Penghasilan Harisah tidaklah seberapa, berkisar hanya Rp. 20.000 perbulan. Tak tega, setiap turun sekolah atau saat-saat libur, Mas Ari kecil sering membantu ibunya menjajakan jualan berkeling kampung. Mas Ari kecil ketika itu bersekolah di MI. Hidayatut Thalibin, tak jauh di sekitar rumahnya. Kegiatan membantu ibunya ini berlangsung sampai ia duduk di bangku MTs pada pesantren yang sama.

Nyaris Drop Out

Tahun 2005, Mas Ari sukses menamatkan pendidikan di jenjang MTs. Kelulusan yang membahagiakan sekaligus menyimpan kegetiran. Bahagia karena lulus, getir karena mungkin ini yang terakhir kalinya ia merasakan bangku sekolah. Mas Ari terancam drop out. Di satu sisi, harapan untuk tetap melanjutkan pendidikan masih tersisa. Tetapi harapan itu terlalu kecil kemungkinan dapat ia wujudkan.
Biaya pendidikan semakin mahal. Sementara ekonomi keluarga tidak lagi memungkinkan dapat menutupi semua kekurangan. Kini, ia hanya bisa menantikan keajaibaan. Dan Tuhan mengabulkan harapannya. Yayasan Pondok Pesantren Hidayatut Thalibin bersedia menggratiskan biaya pendidikan bagi anak-anak kaum dhu‘afâ’. Ini merupakan program mekanisme keadilan sosial yang paling manusiawi.
Bahkan, di tahun yang sama, ia diberi kesempatan menjadi santri mukim di Pondok Pesantren Hidayatut Thalibin. Mas Ari tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia bergiat diri untuk belajar dan terus belajar secara intens di lingkungan barunya. Ia membuktikan kesungguhannya dalam berbagai hal. Aktivitas membaca dan menulisnya semakin gencar. Dan sebagai bukti nyata, artikelnya pernah menembus media massa (Radar Madura: Jawa Pos Group) melalui bantuan Dr. S. Fathurrosyid, S.Th.I, M.Th.I, PKM. Kesiswaan MA ketika itu.

Deklamator yang Haus Prestasi

Sejak MI, minatnya pada puisi mulai kelihatan. Ia sering tampil membacakan puisi-puisi dalam forum Jam’iyyah al-Khithâbiyyah setiap Kamis malam. Bakat membaca puisi ini membuat ia sering juara pada saat Haflah. Di MTs, minat Mas Ari pada dunia sastra semakin meningkat dengan kehadiran KM. Naufal, S.Pd.I sebagai guru bahasa Indonesia. Kemampuannya juga bertambah pesat, dari semula hanya bisa membaca menjadi bisa menulis.
Memasuki MA adalah masa-masa di mana ia benar-benar haus prestasi. Berbagai ajang festival baca puisi diikutinya, termasuk di gedung RRI Sumenep. Tak heran jika berbagai penghargaan telah ia terima. Ini tentu suatu kebanggaan tersendiri bagi dirinya, keluarga, dan almamater tercinta.

Kuliah Berbekal Tekad

Setamat MA. Hidayatut Thalibin, STAIN Pamekasan merupakan satu-satunya pilihan yang tidak boleh tidak. Padahal, biaya pendaftaran ketika itu sangat mahal, sekitar Rp. 1.200.000. Sementara di saat yang sama, ia hanya mempunyai uang Rp. 700.000. Tetapi, tekadnya untuk berkuliah telah bulat di dadanya. Maka ia berusaha sekuat tenaga untuk mencari sisa biaya pendaftaran.
Di STAIN Pamekasan, saat itu SPP bernilai seharga Rp. 600.000 persemester. Bagi keluarganya yang miskin, uang sebanyak itu tidak mungkin bisa dipenuhi. Tetapi Mas Ari punya satu prinsip, bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Jika keluarganya tidak bisa membantu, satu-satunya jalan ia harus bekerja dan bekerja. Bekerja apa saja selama itu halal, dan pilihannya jatuh pada operator warnet.
Selain bekerja, Mas Ari juga aktif di berbagai organisasi, baik intra maupun ekstra kampus. Hidup di luar, tidak ada yang bisa diandalkan kecuali teman. Semakin banyak teman, semakin menguntungkan. Untuk memperkaya jaringan seperti itu, seseorang perlu bergabung dalam organisasi. Tetapi, Mas Ari punya alasan tersendiri mengapa ia berorganisasi. Katanya, selain untuk silaturrahim dan menambah pengetahuan, berorganisasi juga dimaksudkannya untuk membangun kepribadian.

Menjadi Jurnalis

Potensi jurnalistiknya ditempa pada saat ia bergabung dalam LPM STAIN. Mas Ari memang mencintai kata-kata untuk menemani kebiasaan menulisnya sejak di pondok. Kecintaan inilah yang menggiring ambisinya untuk menjadi seorang jurnalis. Hingga kini, telah banyak berita ia buat untuk Harian Pagi Suara Madura.
Mas Ari menuturkan kunci suksesnya sebelum ia menjadi seperti sekarang: (1) kemauan yang keras; (2) istiqâmah dalam berproses; (3) belajar dari kesalahan; (4) memperbanyak referensi; (5) jangan seperti kacang lupa kulitnya; dan (6) jangan pernah gengsi.

No comments:

Post a Comment