Friday, May 23, 2014

Al-Istimnâ’: Onani dan Permasalahannya



Bagaimana perspektif Islam tentang onani? Samakah dengan bentuk perzinahan? Dan bagaimana solusinya menurut Kyai?
Anonim.

__________

Saudara yang baik hatinya, istilah onani dalam bahasa Arab versi kitab-kitab klasik (yellow books) disebut dengan istimnâ’ dalam arti istikhrâju l-maniyyi bi ghayri jimâ‘in. Maksudnya berusaha mengeluarkan sperma tanpa melalui persetubuhan (I‘ânatu l-Thâlibîn, II: 226). Namun, dalam perbendaharaan kitab-kitab modern (white books), onani disebut al-‘âdah al-sirriyyah. Artinya adalah kebiasaan melakukan “sesuatu” secara tersembunyi. Onani memang sudah menjadi fenomena tersendiri di kalangan anak-anak puber dan remaja masa kini. Faktor utamanya adalah menyebarnya pornografi dan pornoaksi, misalnya tayangan-tayangan mesum dan budaya “buka-bukaan” di kalangan kaum perempuan. Realitas ini merupakan malapetaka yang melanda umat Islam.

Status Hukum Onani
Sebagai sesuatu yang berbahaya (mudhârat) bagi psiko-fisik pelakunya, hukum onani adalah haram dan dosa. Dasar pijakannya adalah petunjuk al-Qur’an: walladzîna hum li furûjihim hâfidzûn, illâ ‘alâ azwâjihim aw mâ malakat aymânuhum fa innahum ghayru malûmîn fa man ibtaghâ warâ’a dzâlika fa ’ulâ’ika humu l-‘âdun (Q.s. al-Mu’minûn/23: 5-7). Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang di balik itu, maka itulah orang-orang yang melampaui batas.
Onani termasuk dari ayat: fa man ibtaghâ warâ’a dzâlika fa ’ulâika humu l-‘âdun. Jadi, setiap pengguna alat kelamin sebagai pemuas libido seksual yang tidak melalui jalan perkawinan atau kepemilikan budak, seperti zina, sodomi, homo, onani, maka termasuk melewati batas atau melanggar aturan Allah (Tarabiyah al-Awlâd, I: 175). Musthafa al-Zarqa’ berkata, pandangan ini adalah pendapat madzhab Syafi‘iyyah (Fatâwâ al-Zarqâ’: 34).  Tetapi, menurut Ibnu Katsir ini adalah pendapat Imâmunâ al-Syafi‘i (Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adzîm, III: 293). Keharaman onani juga tertera dalam kitab-kitab, misalnya Mawsû‘ah al-Ahkâm wa al-Fatâwâ al-Syar‘iyyah: 709-710; Fatâwâ ‘Ulamâ’ al-Balad al-Harâm, 399-402; dan al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, VII: 5347.
Lebih lanjut, Musthafa menyuguhkan pandangan ulama yang lain, bahwa yang dimaksudkan melewati batas dalam Q.s. al-Mu’minûn/23: 7 itu adalah melakukan zina atau yang searti dengan zina, seperti sodomi. Sedang onani tidak termasuk di dalamnya. Untuk memasukkan onani dalam kategori itu memerlukan dalil lain. Ulama’ Hanafiah lebih cendrung pada pendapat ini. Namun, mereka tetap berpendapat bahwa onani adalah hal yang tabu dan terlarang, hanya saja masih bisa ditolerir kalau memenuhi tiga syarat: (1) pelakunya tidak punya isteri; (2) takut terjerumus pada zina –tetapi ini disesuaikan dengan kadar dharûrahnya sesuai kaidah: al-dharûrâtu tuqaddaru bi qadriha (dharûrah itu diukur dengan kadarnya); dan (3) tidak bertujuan mencari kenikmatan belaka, tetapi berniat untuk menumpas tuntas hasrat seksualnya. Selain Hanafiyah menambah dua syarat: (4) pelakunya tidak mampu menikah karena terkendala biaya; dan (5) tidak bisa berpusa sunnah untuk meredakan syahwat, atau sudah berpuasa namun masih belum mempan (Fatâwâ al-Zarqâ’: 340-341).
Abdullah Nashih ‘Ulwan berkomentar mirip dengan Musthafa, bahwa onani memang haram. Tetapi jika seseorang tidak mampu mengekang syahwatnya akan terjerumus pada zina, maka mengambil mafsadat yang lebih ringan bahayanya dan lebih rendah tingkat keburukannya, sesuai kaidah: Yakhtâru akhaffa al-dhararayni wa ahwana al-syarrayni. Onani itu buruk. Sodomi dan zina lebih buruk lagi. Karena akan menghancurkan eksistensi secara umum dan akan memporak-porandakan keniscayaan secara totalitas. Tentu pilihannya adalah onani sesuai kaidah tadi (Tarbiyatul Awlâd, 1/175).
Konsekuensi Hukum
Menurut Prof. Dr. al-Syaih Wahbah al-Zahili, onani yang dilakukan pada siang hari waktu puasa dapat membatalkan puasa. Oleh karena itu puasanya harus diqadhâ’ (al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, III: 1721). Sedang pelakunya diganjar hukuman (punishment) dengan ta‘zîr, tidak dihad. Artinya, hukuman bagi pelaku onani tergantung kebijakan hakim atau pemerintah karena tidak dijelaskan dalam al-Qur’an dan Hadits (al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, VII: 5347). Meski demikian, Mushthafa mengatakan, memang ada Hadist-Hadist yang menerangkan bahwa pelaku onani dilaknat oleh Allah, atau tidak dilihat oleh Allah. Namun, sejauh pengamatan para pakar Hadist, ada yang mendhâi‘ifkan, ada pula yang memawdhû‘kan Hadits-Hadits tersebut. Oleh sebab itu, Hadits-Hadits tersebut tidak bisa dijadikan hujjah (Fatâwâ al-Zarqâ’: 340).
Komparasi Zina dan Onani
Samakah zina dengan onani? Dua istilah ini berbeda baik definisi maupun konsekuensinya. Secara definitif, zina adalah memasukkan hasyafah atau seukuran hasyafah ke dalam vagina. Sedangkan onani adalah istimnâ’ dalam arti istikhrâju l-maniyyi bi ghayri jimâ‘in, atau dalam versi bahasa Indonesia adalah mengeluarkan mani tidak dengan sewajarnya (Kamus Bahasa Indonesia: 489). Sementara dari sisi hukum, telah menjadi konsensus (ijmâ’) ulama bahwa zina adalah perbuatan yang haram dan termasuk dosa besar, berdasarkan Q.s. al-Isrâ’/17: 23 dan Q.s. al-Furqân/25: 68 (al-Majmu’, XXI: 292-293). Hukum onani juga haram.
Ganjaran hukumannya pun berbeda. Pelaku zina kalau ghayru muhshan, bukan syubhat dan dilakukan oleh orang bâligh yang punya akal atas kehendaknya sendiri, serta tahu atas keharamannya, maka wajib dihad dengan cara dijilid 100 kali dan diasingkan selama setahun ke sebuah tempat sejauh jarak dibolehkannya shalat qashar. Adapun pelaku zina muhshan dirajam sampai mati (I’anatut Thalibin, IV: 142-147; al-Majmu’, XXI: 300). Sedang ganjaran hukuman pelaku onani hanya dita’zîr.
Alternatif Penanggulangan
Ada banyak sekali alternatif yang bisa ditawarkan di sini, antara lain: (1) menikah; (2) puasa sunnah; (3) menghindari hal-hal yang dapat merangsang timbulnya syahwat; (4) mengisi waktu kosong dengan hal-hal yang bermanfaat; (5) mencari teman yang baik; (6) memperhatikan dan mengikuti nasehat dokter; dan (7) merasa takut kepada Allah.

No comments:

Post a Comment