Bagaimana perspektif Islam
tentang onani? Samakah dengan bentuk perzinahan? Dan bagaimana solusinya
menurut Kyai?
Anonim.
__________
Saudara yang baik hatinya, istilah onani dalam bahasa Arab versi kitab-kitab
klasik (yellow books) disebut dengan istimnâ’ dalam arti istikhrâju l-maniyyi bi ghayri jimâ‘in. Maksudnya berusaha
mengeluarkan sperma tanpa melalui persetubuhan (I‘ânatu l-Thâlibîn, II: 226). Namun, dalam perbendaharaan kitab-kitab
modern (white books), onani disebut al-‘âdah al-sirriyyah. Artinya adalah
kebiasaan melakukan “sesuatu” secara tersembunyi. Onani memang sudah menjadi fenomena
tersendiri di kalangan anak-anak puber dan remaja masa kini. Faktor utamanya
adalah menyebarnya pornografi dan pornoaksi, misalnya tayangan-tayangan mesum
dan budaya “buka-bukaan” di kalangan kaum perempuan. Realitas ini merupakan
malapetaka yang melanda umat Islam.
Status Hukum
Onani
Sebagai sesuatu yang berbahaya (mudhârat) bagi psiko-fisik
pelakunya, hukum onani adalah haram dan dosa. Dasar pijakannya adalah petunjuk
al-Qur’an: walladzîna hum li furûjihim hâfidzûn,
illâ ‘alâ azwâjihim aw mâ malakat aymânuhum fa innahum ghayru malûmîn fa man ibtaghâ
warâ’a dzâlika fa ’ulâ’ika humu l-‘âdun (Q.s. al-Mu’minûn/23: 5-7). Dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau
budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.
Barang siapa yang di balik itu, maka itulah orang-orang yang melampaui batas.
Onani termasuk dari ayat: fa man ibtaghâ warâ’a dzâlika fa ’ulâika
humu l-‘âdun. Jadi, setiap pengguna alat kelamin sebagai pemuas libido
seksual yang tidak melalui jalan perkawinan atau kepemilikan budak, seperti
zina, sodomi, homo, onani, maka termasuk melewati batas atau melanggar aturan
Allah (Tarabiyah al-Awlâd, I: 175). Musthafa
al-Zarqa’ berkata, pandangan ini adalah pendapat madzhab Syafi‘iyyah (Fatâwâ al-Zarqâ’: 34). Tetapi, menurut Ibnu Katsir ini adalah
pendapat Imâmunâ al-Syafi‘i (Tafsîr
al-Qur’ân al-‘Adzîm, III: 293). Keharaman onani juga tertera dalam
kitab-kitab, misalnya Mawsû‘ah al-Ahkâm
wa al-Fatâwâ al-Syar‘iyyah: 709-710;
Fatâwâ ‘Ulamâ’ al-Balad al-Harâm, 399-402; dan al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, VII: 5347.
Lebih lanjut, Musthafa menyuguhkan pandangan ulama yang lain, bahwa yang
dimaksudkan melewati batas dalam Q.s. al-Mu’minûn/23: 7 itu adalah melakukan
zina atau yang searti dengan zina, seperti sodomi. Sedang onani tidak termasuk
di dalamnya. Untuk memasukkan onani dalam kategori itu memerlukan dalil lain.
Ulama’ Hanafiah lebih cendrung pada pendapat ini. Namun, mereka tetap
berpendapat bahwa onani adalah hal yang tabu dan terlarang, hanya saja masih
bisa ditolerir kalau memenuhi tiga syarat: (1) pelakunya tidak punya isteri;
(2) takut terjerumus pada zina –tetapi ini disesuaikan dengan kadar dharûrahnya
sesuai kaidah: al-dharûrâtu tuqaddaru bi qadriha
(dharûrah itu diukur
dengan kadarnya); dan (3) tidak bertujuan mencari kenikmatan belaka, tetapi berniat
untuk menumpas tuntas hasrat seksualnya. Selain Hanafiyah menambah dua syarat:
(4) pelakunya tidak mampu menikah karena terkendala biaya; dan (5) tidak bisa
berpusa sunnah untuk meredakan syahwat, atau sudah berpuasa namun masih
belum mempan (Fatâwâ al-Zarqâ’: 340-341).
Abdullah Nashih ‘Ulwan berkomentar mirip dengan Musthafa, bahwa onani
memang haram. Tetapi jika seseorang tidak mampu mengekang syahwatnya akan
terjerumus pada zina, maka mengambil mafsadat yang lebih ringan
bahayanya dan lebih rendah tingkat keburukannya, sesuai kaidah: Yakhtâru akhaffa al-dhararayni wa ahwana
al-syarrayni. Onani itu buruk. Sodomi dan zina lebih buruk lagi. Karena
akan menghancurkan eksistensi secara umum dan akan memporak-porandakan
keniscayaan secara totalitas. Tentu pilihannya adalah onani sesuai kaidah tadi
(Tarbiyatul Awlâd, 1/175).
Konsekuensi Hukum
Menurut Prof. Dr. al-Syaih Wahbah al-Zahili, onani yang dilakukan pada
siang hari waktu puasa dapat membatalkan puasa. Oleh karena itu puasanya harus
diqadhâ’ (al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu,
III: 1721). Sedang pelakunya diganjar hukuman (punishment) dengan ta‘zîr, tidak dihad. Artinya, hukuman bagi pelaku onani tergantung kebijakan hakim
atau pemerintah karena tidak dijelaskan dalam al-Qur’an dan Hadits (al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, VII: 5347). Meski demikian, Mushthafa
mengatakan, memang ada Hadist-Hadist yang menerangkan bahwa
pelaku onani dilaknat oleh Allah, atau tidak dilihat oleh Allah. Namun, sejauh
pengamatan para pakar Hadist, ada yang mendhâi‘ifkan, ada pula yang memawdhû‘kan
Hadits-Hadits tersebut. Oleh sebab itu, Hadits-Hadits
tersebut tidak bisa dijadikan hujjah (Fatâwâ
al-Zarqâ’: 340).
Komparasi Zina
dan Onani
Samakah zina dengan onani? Dua istilah ini berbeda baik definisi maupun
konsekuensinya. Secara definitif, zina adalah memasukkan hasyafah
atau seukuran hasyafah ke dalam vagina. Sedangkan onani adalah istimnâ’ dalam arti istikhrâju l-maniyyi bi ghayri jimâ‘in, atau dalam versi bahasa
Indonesia adalah mengeluarkan mani tidak dengan sewajarnya (Kamus Bahasa Indonesia: 489). Sementara
dari sisi hukum, telah menjadi konsensus (ijmâ’) ulama bahwa zina adalah
perbuatan yang haram dan termasuk dosa besar, berdasarkan Q.s. al-Isrâ’/17: 23
dan Q.s. al-Furqân/25: 68 (al-Majmu’, XXI: 292-293). Hukum onani juga
haram.
Ganjaran hukumannya pun berbeda. Pelaku zina kalau ghayru muhshan,
bukan syubhat dan dilakukan oleh orang bâligh yang punya akal atas
kehendaknya sendiri, serta tahu atas keharamannya, maka wajib dihad
dengan cara dijilid 100 kali dan diasingkan selama setahun ke sebuah
tempat sejauh jarak dibolehkannya shalat qashar. Adapun pelaku zina muhshan
dirajam sampai mati (I’anatut Thalibin, IV: 142-147; al-Majmu’, XXI: 300).
Sedang ganjaran hukuman pelaku onani hanya dita’zîr.
Alternatif
Penanggulangan
Ada banyak
sekali alternatif yang bisa ditawarkan di sini, antara lain: (1) menikah; (2)
puasa sunnah; (3) menghindari hal-hal yang dapat merangsang timbulnya syahwat;
(4) mengisi waktu kosong dengan hal-hal yang bermanfaat; (5) mencari teman yang
baik; (6) memperhatikan dan mengikuti nasehat dokter; dan (7) merasa takut
kepada Allah.
No comments:
Post a Comment