Friday, May 23, 2014

Diktum Cinta Sang Nabi

Siapa yang tidak sayang pada manusia, tidak akan disayang Allah.
(HR. Abu Daud, Tirmidzi, Baihaqi, dan Bukhari)




Hampir setiap sûrah dalam al-Qur’an, semuanya dimulai dengan basmalah, kecuali Q.s. al-Tawbah/9. Di dalam al-Qur’an juga dikisahkan bagaimana Sang Raja berkirim surat kepada Sang Ratu, dan ternyata isinya adalah bismillâhirrahmânirrahîm (Q.s. al-Naml/27: 30). Bahkan dikatakan, setiap pekerjaan yang tidak dimulai dengan basmalah akan terputus (H.r. Ibnu Majah, Nasa’i, dan Baihaqi). Betapa istimewanya kalimat basmalah.
            Dalam basmalah disebut nama-nama Tuhan seperti al-rahmân (maha pengasih) dan al-rahîm (maha penyayang). Ini menunjukkan bahwa Tuhan sebenarnya lemah lembut (al-lathîf). “Dan kepada setiap orang Tuhan maha pengasih” (Q.s. al-Hajj/22: 25). Dalam ayat yang lain juga disebutkan, “Katakanlah, ‘hendaklah kalian memanggil Tuhan atau al-Rahmân” (Q.s. al-Isrâ’/17: 10).
            Berdasarkan uraian tersebut, tak bisa dipungkiri bahwa Tuhan adalah sumber kasih sayang. Wajar kalau karenanya Tuhan mengutus Sang Nabi untuk menebar kasih sayang di muka bumi. Wa mâ arsalnâka illâ rahmatan li l-‘âlamîn (Q.s. al-Anbiyâ’/21: 107). Untuk meneguhkan klaim suci ini, di dalam Haditsnya Sang Nabi menegaskan, “Sesungguhnya, aku tidak diutus untuk memberi laknat. Aku diutus untuk memberi rahmat” (H.r. Muslim).
            Tak pelak lagi, Nabi adalah figur praksis kasih sayang. Bukti bahwa Nabi seorang penyayang, tampak dalam berbagai jejak kehidupannya. Ketika suatu hari ada sekelompok Yahudi mengecam Nabi, ‘Aisyah tak terima dan segera menyerang balik mereka dengan kata-kata kasar. “Laknat dan kematian bagi kalian!” Tetapi, Nabi malah menegur ‘Aisyah yang sedang marah, padahal marah karena tak terima Nabi dilecehkan.
            Pelan-pelanlah, sayang!” tegur Nabi lembut. Hendaklah kamu bersikap lemah-lembut dalam menyikapi persoalan.” Begitu halus nian teguran Nabi ini kepada istrinya. Nabi berusaha meredakan amarah dan bukan justru menjadikannya kian bergolak. Bahkan, kepada sekelompok Yahudi itu pun Nabi membalas ocehan mereka dengan salam perdamaian. Alangkah cerdasnya emosi Nabi.
            Di hari yang lain, ketika Mu’adz bin Jabal diutus ke Yaman, Nabi berpesan kepadanya, dan pesan itu pernah dikutip oleh Ibnu Hisyam dalam Sîrah Nabawiyyah II (2004). “Tebarkanlah kemudahan, bukan kesukaran. Gelarlah kebahagiaan, bukan ancaman.” Sementara hari ini, ummatnya gemar sekali menebar intimidasi, menciptakan keresahan di mana-mana.
            Pernah juga seseorang bertamu ke kediaman Nabi dan berseru, “Celakalah aku, ya Rasulallah!” Nabi pun bertanya, apa yang membuatnya celaka. Ternyata tamu itu meniduri istrinya siang hari di bulan puasa. Maka Nabi bersabda, “Mampukah engkau memerdekakan budak?” Tamu itu menjawab, tidak. Maka Nabi mengajaknya duduk bersamanya, sampai datang tamu berikutnya mengantarkan sebungkus kurma untuk Nabi.
            Nabi tidak mengambil kurma itu untuk dirinya sendiri. Nabi menyodorkannya kepada tamu bermasalah itu seraya berkata, “Bersedekahlah!” Namun, di luar dugaan, tamu itu kembali mengeluh, “Ya Rasulallah, tidak ada di antara dua kampung ini yang lebih miskin dari kami.” Mendengar pengakuan itu Nabi tertawa, sampai kelihatan gigi serinya. “Kalau begitu, ambillah kurma ini dan berilah makan keluargamu.
            Semua pada akhirnya membuktikan bahwa Islam adalah agama kasih sayang. Namun begitu, kasih sayang yang dikehendaki oleh Islam tetap berpegang pada nilai dan norma yang agung []
 

No comments:

Post a Comment