“Siapa
yang tidak sayang pada manusia, tidak akan disayang Allah.”
(HR. Abu Daud, Tirmidzi, Baihaqi, dan Bukhari)
Hampir
setiap sûrah dalam al-Qur’an, semuanya dimulai dengan basmalah,
kecuali Q.s. al-Tawbah/9. Di dalam al-Qur’an juga dikisahkan bagaimana Sang
Raja berkirim surat kepada Sang Ratu, dan ternyata isinya adalah bismillâhirrahmânirrahîm
(Q.s. al-Naml/27: 30). Bahkan dikatakan, setiap pekerjaan yang tidak dimulai
dengan basmalah akan terputus (H.r. Ibnu Majah, Nasa’i, dan Baihaqi).
Betapa istimewanya kalimat basmalah.
Dalam basmalah disebut
nama-nama Tuhan seperti al-rahmân (maha pengasih) dan al-rahîm
(maha penyayang). Ini menunjukkan bahwa Tuhan sebenarnya lemah lembut (al-lathîf).
“Dan kepada setiap orang Tuhan maha pengasih” (Q.s. al-Hajj/22:
25). Dalam ayat yang lain juga disebutkan, “Katakanlah, ‘hendaklah kalian
memanggil Tuhan atau al-Rahmân” (Q.s. al-Isrâ’/17: 10).
Berdasarkan uraian tersebut, tak
bisa dipungkiri bahwa Tuhan adalah sumber kasih sayang. Wajar kalau karenanya
Tuhan mengutus Sang Nabi untuk menebar kasih sayang di muka bumi. Wa mâ
arsalnâka illâ rahmatan li l-‘âlamîn (Q.s. al-Anbiyâ’/21: 107).
Untuk meneguhkan klaim suci ini, di dalam Haditsnya Sang Nabi
menegaskan, “Sesungguhnya, aku tidak diutus untuk memberi laknat. Aku diutus
untuk memberi rahmat” (H.r. Muslim).
Tak pelak lagi, Nabi adalah figur
praksis kasih sayang. Bukti bahwa Nabi seorang penyayang, tampak dalam berbagai
jejak kehidupannya. Ketika suatu hari ada sekelompok Yahudi mengecam Nabi,
‘Aisyah tak terima dan segera menyerang balik mereka dengan kata-kata kasar. “Laknat
dan kematian bagi kalian!” Tetapi, Nabi malah menegur ‘Aisyah yang sedang
marah, padahal marah karena tak terima Nabi dilecehkan.
“Pelan-pelanlah, sayang!” tegur
Nabi lembut. “Hendaklah kamu bersikap lemah-lembut dalam menyikapi
persoalan.” Begitu halus nian teguran Nabi ini kepada istrinya. Nabi
berusaha meredakan amarah dan bukan justru menjadikannya kian bergolak. Bahkan,
kepada sekelompok Yahudi itu pun Nabi membalas ocehan mereka dengan salam
perdamaian. Alangkah cerdasnya emosi Nabi.
Di hari yang lain, ketika Mu’adz bin
Jabal diutus ke Yaman, Nabi berpesan kepadanya, dan pesan itu pernah dikutip
oleh Ibnu Hisyam dalam Sîrah Nabawiyyah II (2004). “Tebarkanlah
kemudahan, bukan kesukaran. Gelarlah kebahagiaan, bukan ancaman.” Sementara
hari ini, ummatnya gemar sekali menebar intimidasi, menciptakan keresahan di
mana-mana.
Pernah juga seseorang bertamu ke
kediaman Nabi dan berseru, “Celakalah aku, ya Rasulallah!” Nabi pun
bertanya, apa yang membuatnya celaka. Ternyata tamu itu meniduri istrinya siang
hari di bulan puasa. Maka Nabi bersabda, “Mampukah engkau memerdekakan
budak?” Tamu itu menjawab, tidak. Maka Nabi mengajaknya duduk bersamanya,
sampai datang tamu berikutnya mengantarkan sebungkus kurma untuk Nabi.
Nabi tidak mengambil kurma itu untuk
dirinya sendiri. Nabi menyodorkannya kepada tamu bermasalah itu seraya berkata,
“Bersedekahlah!” Namun, di luar dugaan, tamu itu kembali mengeluh, “Ya
Rasulallah, tidak ada di antara dua kampung ini yang lebih miskin dari kami.”
Mendengar pengakuan itu Nabi tertawa, sampai kelihatan gigi serinya. “Kalau
begitu, ambillah kurma ini dan berilah makan keluargamu.”
Semua pada akhirnya membuktikan
bahwa Islam adalah agama kasih sayang. Namun begitu, kasih sayang yang
dikehendaki oleh Islam tetap berpegang pada nilai dan norma yang agung []
No comments:
Post a Comment