Oleh: Ach. Habibi
Merupakan koordinator UKPI OSISMA. Hidayatut Thalibin
dan penggagas utama berdirinya buletin XPose. Lelaki berjuluk “man of power thinking”
ini diakui sejak lama mempunyai IQ spektakuler. Meski demikian, pria kelahiran Sumenep, 06 Agustus 1994 ini tetap berjihad menghancurkan sisa kebodohannya di kelas XI.
Berbicara tentang organisasi tentu tidak
akan lepas dari peran serta dan fungsi organisasi itu sendiri. Selama ini,
ternyata organisasi memiliki peran dan fungsi dalam mem-print-out
generasi bermutu tinggi, allrounde, dan multifungsi. Di lingkungan
Ponpes Hidayatut Thalibin Rembang, misalnya, kita bisa melihatnya dari sosok
KH. Abrori Mannan, S.Ag, M.M. Alkisah, sebelum sukses menjadi figur
birokrasi di parlemen Kabupaten Sumenep, beliau memiliki background
organisasi yang sangat kaya sejak masih belia. Masa-masa sekolah menengah
beliau sudah terdaftar sebagai salah satu anggota NU yang kita tahu merupakan
Ormas Islam terbesar di dunia. Semakin waktu karirnya semakin menanjak. Bahkan
waktu pula yang mengantarkannya menjadi seorang politisi paling disegani, terutama
ketika bergabung dalam Orsospol PKB hingga saat ini.
Di dalam organisasi terdapat banyak
aktivis yang berkecipung di dalamnya, tapi tidak semuanya dapat berorganisasi
dengan baik dan benar. Mungkin karena kurangnya kecakapan, kesungguhan, atau
ketekunan, dan macam-macam. Maka betapa berbahayanya sebuah organisasi yang
berisi orang-orang seperti ini. Bukan saja organisasi tersebut terancam
mengalami stagnasi, lebih parah lagi menjadi musnah tanpa arti. Terkadang,
kehadiran mereka dalam platform organisasi bukan karena kehendak mereka
sendiri, melainkan karena memang direkrut secara membabi buta. Rekrutmen
anggota memang kerap kali dilakukan serampangan tanpa mempertimbangkan kualitas
dan kesamaan visi personal yang bersangkutan. Inilah mengapa tidak jarang
organisasi yang bubar atau sekurang-kurangnya terseok-seok di tengah jalan.
Oleh karenanya, dalam konteks rekrutmen
anggota oganisasi dalam bentuk apapun, sejatinya dibutuhkan kriteria yang
benar-benar selektif dengan mempertimbangkan kualitas dan visi personal calon
serta pengaruhnya terhadap masa depan organisasi. Dengan begitu, selain
organisasi akan menjadi lebih progresif dan dinamis, setiap aktivis di dalamnya
akan mampu merasakan indahnya berorganisasi. Tak bisa dipungkiri, semua aktivis
yang mampu berorganisasi dengan baik dan benar akan dapat memiliki kemampuan
yang tangguh serta unggul bila dibandingkan dengan mereka yang sama sekali
menafikan diri dalam organisasi apapun. Berikut ini penulis akan mencoba
mengidentifikasi beberapa keunikan berorganisasi.
Pertama, dari sisi
intelektual. Adalah mafhum bahwa hingga saat ini, IQ masih menjadi patokan
utama untuk mengukur sejauh mana kualitas seseorang, dan bahwa manusia menjadi
manusia dan mampu memanusiakan dan dimanusiakan manusia, adalah karena di dalam
dirinya tersimpan kekuatan IQ yang luar biasa. Maka oleh karenanya, ketika
seseorang lumpuh secara intlektual, dapat dipastikan ia akan kalah bersaing
dengan orang lain yang secara intlektual lebih dominan. Salah satu upaya untuk
meningkatkan IQ tak lain dengan bergabung dalam sebuah organisasi, di mana di
dalamnya ia akan dicetak sedemikian rupa sehingga memiliki tingkat kematangan
intlektual tertentu.
Kedua, dari
sisi komunikasi. Di dalam organisasi sudah barang tentu terdapat tidak sedikit
orang dengan pengalaman dan karakter yang sangat beragam. Semua itu turut
mewarnai keberadaan organisasi sepanjang perjalanan sejarahnya. Di sana, di
dalam organisasi, memungkinkan terjalinnya komunikasi antar personal dan antar
kelompok secara intens, baik dalam lingkup domestik yang bersifat internal
organisasi sendiri maupun dalam skala yang lebih luas dan bersifat eksternal.
Intensitas, kontinuitas, dengan segala frekuensinya, selanjutnya akan membentuk
kematangan berkomunikasi di kalangan kaum organisator, entah itu langsung atau
tidak.
Ketiga, dari
sisi kreativitas. Orang-orang yang menekuni dunia organisasi cenderung memiliki
kreativitas lebih tinggi, karena mereka akan senantiasa dihadapkan pada
berbagai persoalan bagaimana memuluskan realisasi program-progam yang
direncanakan dalam upaya mewujudkan visi kolektif organisasi. Problem yang sama
dalam ruang dan waktu yang berbeda sangat mungkin tidak akan sama dalam hal
penanganannya. Di sinilah, seorang organisator selalu tertantang untuk
mencarikan penyelesaian secara kreatif dan inovatif. Ini tentu memerlukan kerja
intelektual yang cukup berat sebelum kemudian ide-ide penyelesaian itu
diterapkan secara praksis dalam aksi nyata.
Oleh karena itu, rugi sekali di era globalisasi
ini masih ada yang menonjolkan arogansinya dan menolak berorganisasi. Padahal,
waktu tidak berhenti sampai di sini. Ia terus bergerak maju secara otomatis,
menuju titik akhir yang selamanya masih menjadi rahasia tak terpatahkan.
Seiring itu semua, tantangan ke depan semakin besar dan dengan sendirinya
membutuhkan kecakapan intelektual, komunikasi, dan kreativitas yang mumpuni
guna menyelesaikannya demi kedamaian semesta.
No comments:
Post a Comment