Friday, May 23, 2014

Organisasi, Pabrik Orang Antik

Oleh: Ach. Habibi
Merupakan koordinator UKPI OSISMA. Hidayatut Thalibin
dan penggagas utama berdirinya buletin XPose. Lelaki berjuluk “man of power thinking”
ini diakui sejak lama mempunyai IQ spektakuler. Meski demikian, pria kelahiran Sumenep, 06 Agustus 1994 ini tetap berjihad menghancurkan sisa kebodohannya di kelas XI.



Berbicara tentang organisasi tentu tidak akan lepas dari peran serta dan fungsi organisasi itu sendiri. Selama ini, ternyata organisasi memiliki peran dan fungsi dalam mem-print-out generasi bermutu tinggi, allrounde, dan multifungsi. Di lingkungan Ponpes Hidayatut Thalibin Rembang, misalnya, kita bisa melihatnya dari sosok KH. Abrori Mannan, S.Ag, M.M. Alkisah, sebelum sukses menjadi figur birokrasi di parlemen Kabupaten Sumenep, beliau memiliki background organisasi yang sangat kaya sejak masih belia. Masa-masa sekolah menengah beliau sudah terdaftar sebagai salah satu anggota NU yang kita tahu merupakan Ormas Islam terbesar di dunia. Semakin waktu karirnya semakin menanjak. Bahkan waktu pula yang mengantarkannya menjadi seorang politisi paling disegani, terutama ketika bergabung dalam Orsospol PKB hingga saat ini.
Di dalam organisasi terdapat banyak aktivis yang berkecipung di dalamnya, tapi tidak semuanya dapat berorganisasi dengan baik dan benar. Mungkin karena kurangnya kecakapan, kesungguhan, atau ketekunan, dan macam-macam. Maka betapa berbahayanya sebuah organisasi yang berisi orang-orang seperti ini. Bukan saja organisasi tersebut terancam mengalami stagnasi, lebih parah lagi menjadi musnah tanpa arti. Terkadang, kehadiran mereka dalam platform organisasi bukan karena kehendak mereka sendiri, melainkan karena memang direkrut secara membabi buta. Rekrutmen anggota memang kerap kali dilakukan serampangan tanpa mempertimbangkan kualitas dan kesamaan visi personal yang bersangkutan. Inilah mengapa tidak jarang organisasi yang bubar atau sekurang-kurangnya terseok-seok di tengah jalan.
Oleh karenanya, dalam konteks rekrutmen anggota oganisasi dalam bentuk apapun, sejatinya dibutuhkan kriteria yang benar-benar selektif dengan mempertimbangkan kualitas dan visi personal calon serta pengaruhnya terhadap masa depan organisasi. Dengan begitu, selain organisasi akan menjadi lebih progresif dan dinamis, setiap aktivis di dalamnya akan mampu merasakan indahnya berorganisasi. Tak bisa dipungkiri, semua aktivis yang mampu berorganisasi dengan baik dan benar akan dapat memiliki kemampuan yang tangguh serta unggul bila dibandingkan dengan mereka yang sama sekali menafikan diri dalam organisasi apapun. Berikut ini penulis akan mencoba mengidentifikasi beberapa keunikan berorganisasi.
Pertama, dari sisi intelektual. Adalah mafhum bahwa hingga saat ini, IQ masih menjadi patokan utama untuk mengukur sejauh mana kualitas seseorang, dan bahwa manusia menjadi manusia dan mampu memanusiakan dan dimanusiakan manusia, adalah karena di dalam dirinya tersimpan kekuatan IQ yang luar biasa. Maka oleh karenanya, ketika seseorang lumpuh secara intlektual, dapat dipastikan ia akan kalah bersaing dengan orang lain yang secara intlektual lebih dominan. Salah satu upaya untuk meningkatkan IQ tak lain dengan bergabung dalam sebuah organisasi, di mana di dalamnya ia akan dicetak sedemikian rupa sehingga memiliki tingkat kematangan intlektual tertentu.
Kedua, dari sisi komunikasi. Di dalam organisasi sudah barang tentu terdapat tidak sedikit orang dengan pengalaman dan karakter yang sangat beragam. Semua itu turut mewarnai keberadaan organisasi sepanjang perjalanan sejarahnya. Di sana, di dalam organisasi, memungkinkan terjalinnya komunikasi antar personal dan antar kelompok secara intens, baik dalam lingkup domestik yang bersifat internal organisasi sendiri maupun dalam skala yang lebih luas dan bersifat eksternal. Intensitas, kontinuitas, dengan segala frekuensinya, selanjutnya akan membentuk kematangan berkomunikasi di kalangan kaum organisator, entah itu langsung atau tidak.
Ketiga, dari sisi kreativitas. Orang-orang yang menekuni dunia organisasi cenderung memiliki kreativitas lebih tinggi, karena mereka akan senantiasa dihadapkan pada berbagai persoalan bagaimana memuluskan realisasi program-progam yang direncanakan dalam upaya mewujudkan visi kolektif organisasi. Problem yang sama dalam ruang dan waktu yang berbeda sangat mungkin tidak akan sama dalam hal penanganannya. Di sinilah, seorang organisator selalu tertantang untuk mencarikan penyelesaian secara kreatif dan inovatif. Ini tentu memerlukan kerja intelektual yang cukup berat sebelum kemudian ide-ide penyelesaian itu diterapkan secara praksis dalam aksi nyata.
Oleh karena itu, rugi sekali di era globalisasi ini masih ada yang menonjolkan arogansinya dan menolak berorganisasi. Padahal, waktu tidak berhenti sampai di sini. Ia terus bergerak maju secara otomatis, menuju titik akhir yang selamanya masih menjadi rahasia tak terpatahkan. Seiring itu semua, tantangan ke depan semakin besar dan dengan sendirinya membutuhkan kecakapan intelektual, komunikasi, dan kreativitas yang mumpuni guna menyelesaikannya demi kedamaian semesta.

No comments:

Post a Comment