Debar Kelulusan
Oleh: Hamidi
“Tidak! Pokoknya aku tidak terima
kalo nilai mereka lebih tinggi dari
kita. Masa gara-gara ada kunci jawaban, mereka malah enak-anakan gak belajar. Sedang kita? Kita
susah-susah belajar lho,” Faris terus
mencerocos.
“Ya
sudahlah! Kalo nilai kita gak sesuai dengan apa yang kita
harapkan, kita terima saja. Mungkin itu ujian dari yang Mahakuasa. Yang jelas, semua
pasti ada hikmahnya. Pasti,” tuturku datar.
“Emang iya, Mey. Kita harus terima semua
ujian dariNya. Tapi kita gak terima
dengan semua ini,” ketus Joe.
“Sudahlah, friend. Gak apa-apa. Benar kata Mey, kita harus
terima semua ini dengan keluasan hati,” Zaend menengahi.
Begitulah, kami berdebat tentang
UN sesiang tadi.
***
Jam sudah menunjukkan tepat pukul
12.00 WIB. Perasaanku mulai gelisah tak menentu menunggu kedatangan ayahku yang
pergi ke sekolah mengambil rapor. Aku mondar-mandir kesana-kemari. Suara motor
ayahku terdengar dari dalam rumah, pertanda beliau sudah datang. Inilah waktu
yang kutunggu-tunggu.
“Assalamualaikum,” suara ayahku
di teras rumah.
“Waalaikumsalam warahmatullah,” dengan
tangkas kujawab salam beliau dari dalam rumah. Aku pun bergegas menghampiri
beliau dan menciumi tangan beliau.
“Nilai Mey gimana, Yah?” kataku
membuka pembicaraan. Beliau hanya menatapku dengan bisu.
“Apa nilai Mey jelek, Yah?” tanyaku
lagi. “Mey minta maaf, Yah, kalo nilai Mey gak sesuai sama yang Ayah harapin,”
ucapku dengan nada sedih.
Kring…kring…kring…
Jam bekerku berdering, menunjukkan
pukul 04.00 WIB. Masih pagi buta dan aku terbangun dari tidurku. “Alhamdulillah,
ternyata cuma mimipi,” aku beranjak dari tempat tidurku dan bergegas mengambil
air wudhu’.
“Bismillahirrohmanirrahim….
Bismillahirrohmanirrahim…. Bismillahirrohmanirrahim… Ya Allah! Ya
Rahman! Ya Rahim! Jika Engkau berkenan, hamba mohon kepadaMu, kabulkanlah doa’
hamba. Apa yang terjadi di dalam mimipi hamba Semalam, hamba harap tidak pernah
terjadi dalam kenyataan. Amin ya robbal alamin.”
Waktu
berlalu kian cepat. Hari demi hari, detik demi detik, menit demi menit, bahkan
jam demi jam aku lewati. Satu minggu kian berlalu dengan cepat. Mimipi buruk
itu telah sirna dari pikiranku dan telah menjadi nostalgia dalam hidupku.
*
* *
Hari
ini, tepat pada tanngal 28 Mei menjadi hari yang paling aku tunggu-tunggu.
Perasaan gelisah itu kini hadir kembali dalam benakku. Entah kenapa dengan
perasaanku ini? Pukul 07.00 WIB ayahku berangkat ke sekolahku untuk mengambil
rapor. Perasaanku makin tak tenang ketika melihat ayahku pergi ke sekolah. Hhh.
Selang
beberapa jam kemudian, suara motor Ayah terdengar dari dalam rumah. Beliau
sudah tiba dari sekolah mengambil raporku.
“Assalamualaikum…” Ayahku
memanggil salam setelah turun dari motornya yang ada di ters rumah.
“Waalaikumsalam,” jawabku.
Sejenak aku terdiam. Ya Allah!
Kenapa ini seperti dalam mimipiku? Ah. Tidak. Tidak. Semoga saja tidak sama.
Amin. Bisikku dalam hati. Aku bergegas menghampiri Ayah sembari menciumi
tangannya.
“Ayah, gimana nilai dengan Mey,
Yah?” tanyaku.
Ayah hanya terdiam seribu bahasa.
Tetapi matanya menatapku. Ya Rabb, ini benar-benar seperti apa yang ada
di mimipiku semalam.
“Gimana, Yah? Gimana nilai Mey? Apa
tak sesuai harapan?”
Ayah hanya tersenyum seraya
berkata. “Ayah bangga sama kamu, Nak. Ayah sangat bangga. Tidak sia-sia ayah
menyekolahkanmu, Nak. Nilai kamu rata-rata 9,5, dan itu sangat luar biasa.”
Mendengar ucapan ayah, air mataku
menetes tak terasa. Aku hampir tidak percaya dengan semua ini. Hatiku sangat
senang, bercampur rasa haru. Tapi gimana dengan teman-temanku? Apakah mereka
sama denganku? Atau, apa mungkin nilai mereka jelek? Aku harap itu tidak pernah
terjadi.
Segera
aku pergi ke kamarku untuk menanyai kepastian. Terdengar bunyi HPku dari depan
pintu. Aku bergegas masuk. Kuambil HPku. Ternyata sudah ada 3 pesan diterima. Aku
harap pesan yang aku baca menyenangkan.
Pesan
1 dari Zaend. “Alhamdulillah.. aku lulus.”
Pesan
2 dari joe. “Yeah! Aku lulus, friend………Alhamdulillah.”
Hatiku sangat senang setelah
membaca pesan dari mereka.
Pesan
ke 3 yang datang nya dari Fariz. “…Maaf friend, aku tidak lulus.”
Hatiku tertegun setelah membaca
pesan dari Fariz. Kasihan dia.
“Ya Allah, kenapa harus temanku
yang tidak lulus?” gumamku. Air mataku menetes dengan perasaan tidak terima
dengan kenyataan ini. “Ya Allah, kenapa harus dia? Kenapa bukan hamba? Apa
salah dia?”
Titut…Titut…Titut… HPku berbunyi.
1 pesan di terima dari Fariz.
“Kamu nangis ya…? Hehe… Kena
tipu kau…”
Aku tersenyum setelah membaca
pesan fariz yang terakhir. Rupanya aku dikerjain sama dia. Hmm. Ada-ada saja!
Penulis
siswa kelas XII
No comments:
Post a Comment