-->
A.
Kiai Idris Patapan
Kiai Idris adalah tipologi seorang
shufi (mistis) yang memiliki pandangan jauh ke depan yang tidak hanya
mengandalkan kesalehan individual tetapi juga kesalehan sosial. Dari dua
orientasi ini, hampir bisa dipastikan dalam menjalankan segala aktivitasnya
beliau senantiasa berharap agar semua geneologinya (cucu) kelak menjadi mutafaqqih
fi al-Dini, yaitu orang yang paham agama dan bermanfaat bagi nusa, bangsa
dan agama. Untuk mewujudkan mimpi besar ini agar tidak menjadi angan-angan
sosial yang utopis, langkah konkrit dan gerakan parksis yang direalisasikan
oleh beliau adalah selain bertirakat dan berdo’a fi kulli waktin wa ahyani
(sepanjang waktu selama hayatnya), juga mengirimkan putra-putranya untuk studi
dan nyantri di pesantren-pesantren terkenal saat itu.
Berkat kecanggihan do’a, ijtihadiah
dan seluruh daya upaya yang diterapkan, ternyata idealism beliau itu bukanlah
mimpi di siang bolong, melainkan sikap antusias untuk menempa geneologi yang punya
prestasi plus prestise tersebut, kini telah membuahkan hasil yang luar
biasa, cemerlang nan gemilang. Indikasi konkrit yang bisa dijadikan cermin atas
kesuksesan beliau dalam mencetak generasi kreatif-produktif-inovatif dan agamis
yaitu hampir seluruh anak cucu beliau yang tersebar di seluruh penjuru pelosok
Jawa Timur telah menjadi ulama, cendikiawan muslim dan tokoh-tokoh agama
kharismatik.
Inisiatif K. Idris untuk
berkiparah dalam bidang pemberdayaan masyarakat melalui jalur pendidikan (education)
dan dakwah, embrionya sudah tertanam sejak beliau nyantri di Pondok
Pesantren Panggung, Desa Pakamban Daja Sumenep. Konon, saat studi di penjara
suci itu, kecerdasan, sikap wira’i, tawaddlu’ dan loyalitasnya
menjadi ciri khas tersendiri dan mendarah daging dalam jiwa beliau sehingga
membuat teman-teman seperjuangannya terkagum-kagum. Bahkan dari perpaduan
ketiga sikap tersebut, tidak heran jika kemudian guru spritualnya (syaikhana)
memberikan “servis” superioritas dan prioritas pada “lora kharismatik” ini dengan
dijadikan sebagai asisten pribadi (khadam) dan dipercaya untuk mengelola
“kebun sirih” mulai dari proses irigasi sampai pada penjualannya.
Hari berganti bulan, bulanpun
berganti tahun, kapabilitas Lora Idris kian hari kian mendapat nilai
bagus dari Kiai Panggung. Tentu saja, sebagai guru spritualnya Lora
Idris, Kiai Panggung tidak ingin santri seniornya ini akan melepas begitu saja
“baju kehormatan” sebagai pahlawan pendidikan kelak dikemudian hari setelah
terjun ke tengah-tengah masyarakat, sehingga karenanya, Kiai Panggung sangat
tertarik untuk menjodohkan santri kesayangannya dengan “bunga desa” asal
Lembung Dusun Rembang Desa Pragaan Daja yang bernama Ning Khadijah. Harapan
beliau, kiprah Khadijah dalam aktivitas Lora Idris akan semakin
mengobarkan ghirah perjuangannya dalam membangun futuristik nusa, bangsa
dan agama.
Bak gayung bersambut, Lora
Idris sangat bahagia sekali menerima kenyataan dalam mengakhiri masa single-nya.
Hal ini dikarenakan gadis yang akan disunting agar menjadi ratu dalam istana
rumah tangga bukanlah sembarang orang. Ia adalah perempuan pilihan syaikhana-nya.
Dan setelah perkawinannya dengan Ny. Khatijah, K. Idris lebih memilih Lembung
Dusun Rembang Desa Pragaan Daja sebagai tempat tinggal dan daerah perjuangan
dan pengabdiannya.
Bulan madu telah usai dinikmati
bersama, kini tibalah saat-saat K. Idris untuk memulai babak baru yang dirasa
sangat berat dan cukup menantang, yaitu melanjutkan aktivitas perjuangan yang
pernah ditempanya selama studi di Pesantren Panggung. Langkah awal dalam
merintis berdirinya lembaga pendidikan yang dilakukan oleh beliau adalah
mewaqafkan rumah kediamannya sendiri untuk dijadikan masjid sebagai sentral
dakwah dan menyebarkan Pendidikan Agama Islam yang kemudian popular dengan nama
“Masjid Lembung”. Dari masjid inilah masyarakat Pragaan Daja mulai mengenal dan
mellek tentang pendidikan ilmu keagamaan (tarbiyyah al-Diniyyah).
Waktu terasa amat cepat sekali
berlalu, pada tahun 1930-an, peran Ny. Khatijah mendampingi karier suami
tercinta dalam berdakwah kini telah usai. Sang Sutradara Agung, Allah Rabbul’izzah,
telah memanggil Ny. Khatijah untuk menghadap kepangkuan-Nya pada usia yang
ke-50. Di mata keluarga dan masyarakat, Ny. Khatijah dikenal sebagai sosok
ideal wanita muslimah sejati yang mampu berkhidmat secara ikhlas.
Tenaga, materi, waktu dan pikiran beliau korbankan demi kesuksesan jihad,
ijtihad dan mujahadah suami tersayang. Ketika K. Idris mendapat
tugas yang berat, Ny. Khatijah meneguhkan hati dan menambahkan kepercayaan
dirinya. Ketika K. Idris didustakan dan dilecehkan masyarakatnya, Ny. Khatijah
mampu meyakinkannya dengan tulus. Tetapi kini semuanya hanyalah tinggal
kenangan yang sulit untuk dilupakan. Allahumma Ighfirlaha Warhamha Wa ‘Afiha
Wa’fu ‘Anha.
Dari hasil perkawinannya dengan
Ny. Khatijah, K. Idris dikaruniai 4 (empat) generasi (putra-putri) sebagai
berikut:
1. K. Khatib (Sesepuh Pondok Pesantren Al-Amien, Prenduan Pragaan
Sumenep)
2. K. Hafidzuddin (Sesepuh Pondok Pesantren Hidayatut Thalibin,
Rembang Pragaan Daja Pragaan Sumenep)
3. Ny. Nursiti (Sesepuh Pondok Pesantren Al-Karawi, Karay Ganding
Sumenep)
4. Ny. Qamariyah (Sesepuh Pondok Pesantren An-Nuqayah, Guluk-Guluk
Sumenep)
Semenjak kepergian partner
sejatinya, predikat “bujang” bagi K. Idris bukanlah satu-satunya alasan untuk
hengkang dari dunia pendidikan. Dalam kondisi yang demikian, beliau justru
semakin gencar melakukan ekspansi area dakwahnya ke luar daerah. Namun apa
boleh buat, daya tampung kesibukan aktivitas berdakwah ternyata belum cukup
umur untuk dijadikan “terapi mujarab” mengusir rasa kesepian yang kian
menggerogoti dalam lubuk hatinya yang paling dalam, hingga suatu ketika,
terbersitlah ide-ide kreatif K. Idris untuk menyunting perempuan lain sebagai
partner kedua yang akan menggantikan posisi Ny. Khatijah dalam memberikan support
pada setiap derap langkahnya. Melalui do’a dan ikhtiar yang cukup ihtiyath,
“kartu” pilihan untuk menggaet pasangan hidup, ternyata jatuh ke tangan adik
iparnya sendiri yang bernama Ning Aminah.
Belum genap satu tahun K. Idris
mengarungi bahtera kehidupan bersama Ny. Aminah, inspirasi untuk memfokuskan concern
perjuangan di daerah lain kembali mencuat ke permukaan. Setelah berkali-kali
melakukan sharing ide dengan putra-putrinya, akhirnya
disepakatilah secara aklamasi bahwa Dusun Patapan Desa Guluk-Guluk Sumenep
adalah tempat yang sangat strategis untuk menggalang massa guna melebarkan
sayap pemberdayaan pendidikan yang selalu mengalir derah dalam jiwanya.
Ditempat baru inilah K. Idris dikenal dengan julukan “K. Idris Patapan” dan
ditempat ini pulalah beliau mengakhiri hayatnya dan dimakamkan di sana. Selamat
Tinggal. Allahumma Latahrimna Ajrahu Walataftinna Ba’dahu Waghfirlana
Walahu.
B.
Kiai Hafidzuddin dan
Masyarakat Pragaan Daja
Semenjak kepindahan K. Idris ke
Dusun Patapan, Pendidikan “Masjid Lembung” diserahkan kepada putra keduanya K.
Hafidzuddin sebagai pemegang tongkat estafet pertama, karena ketiga saudara
lainnya, masing-masing K. Khatib dan Ny. Qamariyah pindah ke Desa Prenduan,
sementara Ny. Nursiti ikut suaminya ke Desa Karay Ganding Sumenep.
K. Hafidzuddin dalam usaha
melanjutkan pendidikan yang ditinggalkan ayahandanya, mencoba mengembangkan
sistem/pola pendidikan yang tidak hanya terbatas pada kegiatan pengajian di
masjid, beliau juga membentuk kelompok-kelompok pengajian agama (jam’iyah)
guna memberikan pendidikan agama kepada masyarakat Pragaan Daja yang notabene
pada masa itu sangat kolot, primitif, dan rendah pengetahuan. Disamping itu
pula, beliau membentuk kelompok-kelompok pengajian dalam rangka memberikan
kesempatan yang sama kepada masyarakat yang jauh dari masjid Lembung untuk
menimba ilmu pengetahuan agama.
Model dakwah yang dikembangkan
oleh K. Hafidzuddin adalah pendidikan tidak lagi disentralkan di Masjid
Lembung, tetapi langsung ke kelompok-kelompok sosial masyarakat seperti halnya
belajar shalat dan pengamalan mitos-mitos keagamaan.
K. Hafidzuddin menurunkan 6 (enam)
generasi putra-putri sebagai berikut:
1. K. Fadlillah (PP. Hidayatut Thalibin Rembang Pragaan Daja)
2. K. Bukhari (PP. Salafiyah Jember)
3. Ny. Zahroh (Ruberruh Prenduan)
4. K. Imamuddin
5. K. Muhammad Ilyas
C.
KH. Fadlillah dan
Awal Berdirinya PP. Hidayatut Thalibin
Semenjak wafatnya K. Hafidzuddin,
tongkat estafet selanjutnya diserahkan kepada putra pertamanya KH. Fadlillah,
pada fase inilah pola Pendidikan Pesantren mulai diperkenalkan, dan
mengembangkan sistem santri muqim (nginap). Mula-mula beliau mewajibkan
santri ngaji sambil bermalam di masjid dan diberi tambahan pengajian
kitab kuning (turats).
Pengajian-pengajian agama yang
sudah dirintis oleh K. Hafidzuddin (ayahandanya) lebih dilebarkan sayapnya oleh
beliau sampai ke desa-desa tetangga, seperti Pragaan Laok, Jaddung, Prenduan
dan Guluk-Guluk, dan model pengajian pun ditambah, mulai jam’iyah tadarrus,
shalawat sampai pada manaqib dan pengajian kitab.
Dengan hadirnya KH. Fadlillah di
tengah-tengah masyarakat Pragaan Daja dan sekitarnya dapat mengobati kerinduan
masyarakat kepada K. Hafidzuddin (ayahandanya) di mana beliau dikenal sangan
dekat dengan masyarakat, konsisten (istiqomah) dan sangat loyal terhadap
masyarakat kecil. Sosok KH. Fadlillah adalah sosok “Kiai Seppo Lembung”. Itulah
predikat yang disandangnya dari urusan agama sampai urusan duniawi. KH.
Fadlillah menjadi sosok penuntun masyarakat Pragaan Daja secara keseluruhan.
Sejak tahun 1940-an Pendidikan
Masjid Lembung yang dikelola oleh KH. Fadlillah, pengelolaannya dibantu oleh
menantu beliau KH. Abd. Mannan (dari Kalabaan Guluk-Guluk Sumene).
KH. Fadlillah yang dikenal santun
dan tawaddhu’ banyak mendapat simpati dari masyarakat, sehingga banyak
masyarakat yang menitipkan putra-putrinya untuk dibina dan diajari oleh beliau,
dan tidak sedikit yang mondok, karena sistem muqim ini dirasa lebih
efektif dan terjamin.
Dari hasil perkawinannya dengan
Ny. Hj. Salma dari Kembang Kuning Pamekasan, KH. Fadlillah menurunkan 6 (enam)
generasi putra-putri sebagai berikut:
1. Ny. Zuhriyah (PP. Hidayatut Mubtadi’in Pancoran Pamekasan)
2. Ny. Qina’ah (PP. Hidayatut Thalibin Rembang Pragaan Daja
Sumenep)
3. K. Ahmad Najib (wafat dalam agresi Belanda)
4. Ny. Romlah (PP. Hidayatut Thalibin Rembang Pragaan Daja Sumenep)
5. K. Muzanni (wafat masih kecil)
6. KH. Bahrawi (PP. Al-Ishlah Daleman Ganding Sumenep)
D.
KH. Abd. Mannan
sebagai Pengasuh Pertama PP. Hidayatut Thalibin
Sepeninggalnya KH. Fadlillah (pada
tahun 1952) tongkat estafet kembali berpindah tangan, kini gilirannya menantu
beliau sebagai pemegang utama, KH. Abd. Mannan (suami Ny. Qina’ah) terpanggil
untuk melanjutkan kepemimpinan Pesantren Lembung, karena pada saat itu
putra-putri KH. Fadlillah rata-rata masih belum dewasa, dan sebagian ada yang
ikut suaminya.
Secara pelan tapi pasti KH. Abd.
Mannan mencoba memperkenalkan pola pendidikan modern (al-Nizam al-Tarbiyyah
al-Khalafiyyah) dengan membentuk pola pendidikan klasikal, dan sejak
kepemimpinan beliaulah, dengan hasil istikharoh, nama Pendidikan Masjid
Lembung diberi nama “Lembaga Pendidikan Hidayatut Thalibin”. Dan pada masa
inilah cikal-bakal berdirinya Pondok Pesantren Hidayatut Thalibin secara formal
dan lebih modern diterapkan.
Dedikasi dan kontribusi KH. Abd.
Mannan tidak hanya memusatkan perhatiannya kepada Pendidikan Pesantren an-sich,
kelompok-kelompok pengajian pun di masyarakat terus diberdayakan, mulai
pengajian agama bahkan kesenian, seperti samman, shalawatan dan kerja bakti
sosial. Salah satu kesuksesannya adalah dibangunnya jalan raya dari daerah
Sumber Pandan Prenduan menuju lokasi PP. Hidayatut Thalibin Lembung Pragaan
Daja. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan jalur transportasi dan akulturasi
budaya.
Nama KH. Abd. Mannan semakin
popular sejak didirikannya Lembaga Pendidikan klasikal dengan kurikulum full
diniyah (keagamaan) pada tahun 1960. Dan tiga tahun kemudian beliau membangun
gedung madrasah ibtidaiyah sebanyak 7 lokal di atas tanah milik Bapak Suno yang
diwaqafkan kepada beliau, kendati sebelumnya beliau telah menyelesaikan
renovasi Masjid Lembung yang dibangun oleh mertuanya.
Pada tahun 1976 Lembaga Pendidikan
Hidayatut Thalibin sebagai satu-satunya Lembaga Pendidikan di Desa Pragaan Daja
mendapat kepercayaan yang luar biasa dari masyarakat, ditandai dengan
membludaknya santri baru yang tidak mungkin dikelola sendiri oleh KH. Abd.
Mannan, sehingga karenanya beliau tertuntut untuk mendatangkan guru bantu dari
desa/kecamatan tetangga ditambah santri-santri senior untuk membantu beliau.
Pada masa ini, KH. Bahrawi (adik
ipar) juga memberikan andil yang cukup besar dalam membangun Hidayatut
Thalibin, sehingga sepulangnya KH. Zubairi (putra sulung KH. Abd. Mannan) dari
PP. Balado Probolinggo, dan K. Moh. Maimun (putra kedua KH. Abd. Mannan) dari
PP. Al-Anwar Lesung Rembang Jawa Tengah, secara bersama-sama mengajukan ijin
operasional kepada Departemen Agama untuk memperoleh ijin dari pemerintah,
sehingga pada tanggal 20 Maret 1978 diterbitkan Piagam TERDAFTAR Departemen
Agama untuk Madrasah Ibtidaiyah Hidayatut Thalibin, dengan piagam Madrasah
Nomor : L.m./3/4201/A/1978.
E.
K. Moh. Maimun
Mannan; Sebuah Kegelisahan Intelektual
Mulai sejak terdaftarnya Madrasah
Ibtidaiyah Hidayatut Thalibin, berkat petunjuk dan bimbingan PPAI (Pengawas
Pendidikan Agama Islam) Kecamatan Pragaan Madrasah Ibtidaiyah dengan segala
kekurangan, sistem pengelolaan dan administrasi dapat terbenahi, sehingga pada
tahun 1986 diangkatlah K. Moh. Maimun (putra kedua KH. Abd. Mannan) sebagai Kepala
Madrasah yang kedua.
Restrukturisasi pola kepemimpinan
ini rupanya mempunyai dampak positif terhadap proses pembelajaran dan
pelaksanaan pendidikan dilingkungan Madrasah Ibtidaiyah setapak demi setapak
mulai terasa, gairah untuk semakin mengepakkan sayapnya kian giat digerakkan
dan dengan segala jerih payah, kerja keras beliau serta dukungan para guru
senior saat itu, terbitlah piagam Madrasah Tsanawiyah dengan status TERDAFTAR
pada tanggal 13 Mei 1993, dan pada tanggal 17 Juli 1997 terbit piagam dengan
status TERDAFTAR untuk MA. Hidayatut Thalibin.
Sementara pada tahun 1992, Pondok
Pesantren Hidayatut Thalibin kembali membuat kebijakan baru untuk menampung
aspirasi dan desakan dari masyarakat agar membuka dan mengelola lembaga Raudlatul Athfal (RA), sehingga pada saat itu pulalah pihak pengurus lembaga juga
berusaha semaksimal mungkin agar diupayakan menjadi lembaga yang diakui
pemerintah, dan Al-Hamdulillah dengan didukung oleh tenaga yang professional akhirnya lembaga RA mendapat restu dari pemerintah dengan status TERDAFTAR pada tanggal 26 Januari 1999.
Geliat pengurus PP. Hidayatut
Thalibin untuk semakin memperjuangkan lembaga tercinta menjadi lembaga yang bonafide
semakin menampakkan sinyal yang cukup kuat, sehingga pada tanggal 20 Juni 1995
Madrasah Ibtidaiyah terakreditasi dengan status DIAKUI dengan Nomor :
Mm.30/05.03/PP.03.2/1840/1995, bahkan dengan kehebatan lobi-lobi yang dilakukan
oleh pengelola lembaga, tanggal 22 Juni 2003 Madrasah Tsanawiyah terakreditasi
juga dengan status DIAKUI dengan Nomor : Wm.06.04/PP.03.02/129/SKP/2003.
Posisi PP. Hidayatut Thalibin di bawah
tampuk kepemimpinan K. Moh. Maimun Mannan semakin akrab di mata masyarakat. Hal
ini disebabkan kapabilitas dan kreativitas beliau dalam mengemas dan memenej
lembaga pendidikan yang tidak hanya terkonsentrasikan pada model pendidikan salafiyah
(klasik) tetapi juga mampu mengadopsi model pendidikan khalafiyah
(modern). Salah satu ijtihad beliau untuk mengurangi dikotomisasi
pendidikan yang selama ini gencar dikampanyekan oleh mazhab status quo
pesantren (baca; salafiyah) yaitu dibukanya Lembaga Pendidikan Umum yang
diselenggarakan pada pagi hari mulai dari RA, MI, MTs dan MA. Sementara untuk
mempertahankan ciri khas Pondok Pesantren yang berafiliasi dengan disiplin
keilmuan Timur Tengah, selain membuka program intensif (santri muqim) agar para
santri mampu membaca dan mengkaji teks-teks arab (turats/canon) beserta pisau
bedahnya (metodologi) semisal ilmu Nahwu, Balaghah, Sharraf, Mantiq dan grammar
lainnya juga beliau membuka Lembaga Pendidikan Agama (LPA) yang diselenggarakan
pada sore hari mulai dari tingkat Isti’dadiyah, Awwaliyah, Wustha sampai pada
tingkat ‘Ulya.
No comments:
Post a Comment