Friday, May 23, 2014

PUISI



Otak Batu


Di atas puing berkabut
Daku berjalan menuju tangga raksasa
Dalam otakku bertingkat
Dalam pikiranku tak melekat

Daku tabur impian dalam batu hatiku
Daku angkat batu permataku
Daku genggam mata permataku
Tapi, mengapa dan mengapa
Ilmu dinginku diliputi batu kekerasan

Oh, tak kusadar tak kuhiraukan
Batu kekerasan hancur
Menjadi abu, abu, abu gersang

Daku bersandar ke batu api
Daku berdiri melawan nafsu lengket
Di atas puing berkabut
Daku berkata, daku berusaha
Menggenggam ilmu
Dan menambah airmataku
Menjadi airmata biru


Khalilurrahman







Kematian



patahan besi hijau
berseragam berkalung tabir
kaki dipikul
tangan terpikir di keranda

La ilaha illallah
sambil berdzikir kepadamu
rayap-rayap mendoakan kematiannya
pada jasat yang tak lagi berguna

dikubur
sebelum jasat terkubur
sebelum rahim tanah terkunci
ruh-ruh menjerit layaknya bayi
karena ingin menghadap ilahi

terkubur
kini waktu tiba
malaikat Tuhan datang bertanya
siapakah Tuhanmu?
lalu mayat menjawabnya berbeda
di balik lampu merah
kobaran api membara
bukan diskotik
bukan pula tempat berdansa


Ach. Fauzi Anas



Jejak Langkah Kehidupanku



Kubuka mata ini dari hati
Yang penuh dengan butiranmu
Mutiara kejujuran
Kudenyutkan jantung ini
Di setiap tetesan embun
Yang mengalir di setiap dedaunan pagi

Kusapa sang maha raja cahaya
Dan seribu sinar kehidupan
Yang memancarkan cahaya kesehatan
Yang terserap di setiap pori-pori
Sekujur tubuhku

Kulangkahkan kaki
Sedikit demi sedikit
Untuk mencari kehidupan baru
Yang penuh dengan warna-warni
Pintu kesuksesan
Sungguh indah dunia ini
Di suasana kehidupan baru
Yang terukir dari satu bait kata
Yang mengandung seribu makna
Subhanallah!
Subhanallah!


Edy Mufty




Negeri Politik Hitam



Negeri ini negeri sakit hati, Bung!
Negeri hati politik
Melambung-lambung luapan
Politik hitam
Melompat-lompat luapan
Politik hitam
Begitu cepat menerjang sampah jalanan
Dengan tujuh koma enam miliar rupiah

Negeri ini negeri politik hitam, Bung!
Negeri pertengkaran politik hitam
Yang satu jadi seribu
Yang takut jadi berani
Yang jujur jadi licik
Yang putih jadi hitam

Negeri ini negeri negeri politik hitam, Bung!
Politik picik tidak beraturan
Berteriak... Berteriak... Berdemo...
Bersama politik hitam
Politik hitam ini kejambung
Berani mengisap darah demi kepentingan sendiri
Berdiskusi licik untuk kepentingannya sendiri

Negeri ini negeri politik hitam, Bung!
Negeri politik adu domba

M. Sufyan Astsauri



Rakyat Sampah



Kuterbangun dari pulas tidurku
Kuberdiam di telinga pintu,
Kumenatap jauh ke arah sana
Wahai embun pagi adalah keterangan kesenduan dan kelembutan,
Penghias di bawah atap dunia
Sementara hujan begitu pulas, seakan mangajakku tertidur

Di balik dedaunan yang mulai tarlena dibuai embun
Burung burung pun mengigil di balik kesunyian

Ingat ku berlari jauh ke arah ruang dan waktu
Yang tak pernah ku tapaki dan aku singgahi

Kudengar bisikan bisik mu menelus di perempatan negri
Negri yang terhimpit oleh desakan tikus-tikus berdasi
Rakyat kecil yang tarpasung dalam bisikan bisu
Hanyalah tipuan tuan, kita seperti hujan yang
Mengguyur sampah sampah berserakan
Tanpa kalian hiraukan

Hanyalah politik 3 dimensi yang kau mainkan di sudut sudut negeri
Hanyalah jas, dasi dan kursi tanpa tau arti korupsi
Kau tertidur pulas di istana negri menyuruh sana-sini
Rakyat kecil dijadikan rekomendasi bahan nafkah anak istri


Luthfi Aldian Syah




Oreng ataneh mekol landu’                           
Taretan lake’ se towa’an nyamanah  kaka’            
Ka oreng toah wajib patondu’
Ma’ le ta’ tettih oreng se celaka’


Entar le melleh ka pasar prenduan
Le molenah olle bherkat
Pabennya’ alakoh kapekusen
Ma’ le ta’ kastah dhunnya akherat


Ka pasar melleah rambutan
Pamangkatah amotoran
Ben sakanca’an ce’ atokaran
Ma’ le ta tettih permosoan


Pa’ camat mecce’ paker
Ma’ le ta’ roppu ka pungkanah tomat
Ka ghuru ce’ korang acer
Mon terro elmoh se manfa’at


Pungkanah nyeor bennya’ buwenah
Buwenah jeh ngarajeh
Pa pekus tengka kulinah
Ma’ le tettih oreng se moljeh
                                                                                                                                                                                                                                                       

Pae’ ,bhasa madhurenah pahit
Mon petteng ngangkuy senter
Aduh…Ale’-ale’ Majapahit
Lem alem tor penter


Entar ka pasar malem melle kaos
Bileh olle langsung mole
Ka’dintoh Buletin nyamanah Expose
Bile e beca engki sae


E Jogjakarta bedhe Brobudur
E Prenduan bedeh toko lonceng
Teater C2O engki bur lebur
Se amaen cet ki’ lanceng


Mon aghebei roma ce’ paperot
Kodhu ngangkui batoh pote
Madrasah laen nyorot
Hidayatut Thalibi tetep oke


Ta’ mateh tor ta’ odhi’ nyamanah koma
Bhasa kasara adhabu engki acaca
Bhede salam dari OSIS MA
Engki ka’dintoh selamat membaca

PROSA



Debar Kelulusan
Oleh: Hamidi




“Tidak! Pokoknya aku tidak terima kalo nilai mereka lebih tinggi dari kita. Masa gara-gara ada kunci jawaban, mereka malah enak-anakan gak belajar. Sedang kita? Kita susah-susah belajar lho,” Faris terus mencerocos.
“Ya sudahlah! Kalo nilai kita gak sesuai dengan apa yang kita harapkan, kita terima saja. Mungkin itu ujian dari yang Mahakuasa. Yang jelas, semua pasti ada hikmahnya. Pasti,” tuturku datar.
Emang iya, Mey. Kita harus terima semua ujian dariNya. Tapi kita gak terima dengan semua ini,” ketus Joe.
“Sudahlah, friend. Gak apa-apa. Benar kata Mey, kita harus terima semua ini dengan keluasan hati,” Zaend menengahi.
Begitulah, kami berdebat tentang UN sesiang tadi.

***
Jam sudah menunjukkan tepat pukul 12.00 WIB. Perasaanku mulai gelisah tak menentu menunggu kedatangan ayahku yang pergi ke sekolah mengambil rapor. Aku mondar-mandir kesana-kemari. Suara motor ayahku terdengar dari dalam rumah, pertanda beliau sudah datang. Inilah waktu yang kutunggu-tunggu.
“Assalamualaikum,” suara ayahku di teras rumah.
“Waalaikumsalam warahmatullah,” dengan tangkas kujawab salam beliau dari dalam rumah. Aku pun bergegas menghampiri beliau dan menciumi tangan beliau.
“Nilai Mey gimana, Yah?” kataku membuka pembicaraan. Beliau hanya menatapku dengan bisu.
“Apa nilai Mey jelek, Yah?” tanyaku lagi. “Mey minta maaf, Yah, kalo nilai Mey gak sesuai sama yang Ayah harapin,” ucapku dengan nada sedih.

Kring…kring…kring…
Jam bekerku berdering, menunjukkan pukul 04.00 WIB. Masih pagi buta dan aku terbangun dari tidurku. “Alhamdulillah, ternyata cuma mimipi,” aku beranjak dari tempat tidurku dan bergegas mengambil air wudhu’.
Bismillahirrohmanirrahim…. Bismillahirrohmanirrahim…. Bismillahirrohmanirrahim… Ya Allah! Ya Rahman! Ya Rahim! Jika Engkau berkenan, hamba mohon kepadaMu, kabulkanlah doa’ hamba. Apa yang terjadi di dalam mimipi hamba Semalam, hamba harap tidak pernah terjadi dalam kenyataan. Amin ya robbal alamin.”
Waktu berlalu kian cepat. Hari demi hari, detik demi detik, menit demi menit, bahkan jam demi jam aku lewati. Satu minggu kian berlalu dengan cepat. Mimipi buruk itu telah sirna dari pikiranku dan telah menjadi nostalgia dalam hidupku.
* * *
Hari ini, tepat pada tanngal 28 Mei menjadi hari yang paling aku tunggu-tunggu. Perasaan gelisah itu kini hadir kembali dalam benakku. Entah kenapa dengan perasaanku ini? Pukul 07.00 WIB ayahku berangkat ke sekolahku untuk mengambil rapor. Perasaanku makin tak tenang ketika melihat ayahku pergi ke sekolah. Hhh.
            Selang beberapa jam kemudian, suara motor Ayah terdengar dari dalam rumah. Beliau sudah tiba dari sekolah mengambil raporku.
Assalamualaikum…” Ayahku memanggil salam setelah turun dari motornya yang ada di ters rumah.
Waalaikumsalam,” jawabku.
Sejenak aku terdiam. Ya Allah! Kenapa ini seperti dalam mimipiku? Ah. Tidak. Tidak. Semoga saja tidak sama. Amin. Bisikku dalam hati. Aku bergegas menghampiri Ayah sembari menciumi tangannya.
“Ayah, gimana nilai dengan Mey, Yah?” tanyaku.
Ayah hanya terdiam seribu bahasa. Tetapi matanya menatapku. Ya Rabb, ini benar-benar seperti apa yang ada di mimipiku semalam.
“Gimana, Yah? Gimana nilai Mey? Apa tak sesuai harapan?”
Ayah hanya tersenyum seraya berkata. “Ayah bangga sama kamu, Nak. Ayah sangat bangga. Tidak sia-sia ayah menyekolahkanmu, Nak. Nilai kamu rata-rata 9,5, dan itu sangat luar biasa.”
Mendengar ucapan ayah, air mataku menetes tak terasa. Aku hampir tidak percaya dengan semua ini. Hatiku sangat senang, bercampur rasa haru. Tapi gimana dengan teman-temanku? Apakah mereka sama denganku? Atau, apa mungkin nilai mereka jelek? Aku harap itu tidak pernah terjadi.

            Segera aku pergi ke kamarku untuk menanyai kepastian. Terdengar bunyi HPku dari depan pintu. Aku bergegas masuk. Kuambil HPku. Ternyata sudah ada 3 pesan diterima. Aku harap pesan yang aku baca menyenangkan.
            Pesan 1 dari Zaend. “Alhamdulillah.. aku lulus.”
            Pesan 2 dari joe. “Yeah! Aku lulus, friend………Alhamdulillah.
Hatiku sangat senang setelah membaca pesan dari mereka.
            Pesan ke 3 yang datang nya dari Fariz. “…Maaf friend, aku tidak lulus.”
Hatiku tertegun setelah membaca pesan dari Fariz. Kasihan dia.
“Ya Allah, kenapa harus temanku yang tidak lulus?” gumamku. Air mataku menetes dengan perasaan tidak terima dengan kenyataan ini. “Ya Allah, kenapa harus dia? Kenapa bukan hamba? Apa salah dia?”
Titut…Titut…Titut… HPku berbunyi. 1 pesan di terima dari Fariz.
Kamu nangis ya…? Hehe… Kena tipu kau…
Aku tersenyum setelah membaca pesan fariz yang terakhir. Rupanya aku dikerjain sama dia. Hmm. Ada-ada saja!

Penulis siswa kelas XII

NOSTALGIA ALUMNI



Ach. Bahri: Pangeran Bersenjata Kata




24 tahun silam, tepatnya di Kampung Bikertah Dajah, Dusun Rembang, Desa Pragaan Dajah, Kecamatan Pragaan, Harisah sedang berjuang mempertaruhkan hidupnya sendiri demi sebuah kelahiran yang menyakitkan. Perjuangan itu berakhir dengan indah. Harisah dan bayi yang dilahirkannya selamat. Bayi inilah yang kelak dianugrahi sebuah nama: Ahmad Bahri.
Harisah dan Rifa’e bukanlah sepasang pangeran dan putri istana. Mereka tidak hidup dalam gemerlap dunia. Kehidupan mereka sangat sederhana. Apalagi ketika hubungan mereka pernah renggang selama bertahun-tahun, Harisah harus menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga dengan bekerja sebagai penjaja tahu dan bulung dari kampung ke kampung.
Penghasilan Harisah tidaklah seberapa, berkisar hanya Rp. 20.000 perbulan. Tak tega, setiap turun sekolah atau saat-saat libur, Mas Ari kecil sering membantu ibunya menjajakan jualan berkeling kampung. Mas Ari kecil ketika itu bersekolah di MI. Hidayatut Thalibin, tak jauh di sekitar rumahnya. Kegiatan membantu ibunya ini berlangsung sampai ia duduk di bangku MTs pada pesantren yang sama.

Nyaris Drop Out

Tahun 2005, Mas Ari sukses menamatkan pendidikan di jenjang MTs. Kelulusan yang membahagiakan sekaligus menyimpan kegetiran. Bahagia karena lulus, getir karena mungkin ini yang terakhir kalinya ia merasakan bangku sekolah. Mas Ari terancam drop out. Di satu sisi, harapan untuk tetap melanjutkan pendidikan masih tersisa. Tetapi harapan itu terlalu kecil kemungkinan dapat ia wujudkan.
Biaya pendidikan semakin mahal. Sementara ekonomi keluarga tidak lagi memungkinkan dapat menutupi semua kekurangan. Kini, ia hanya bisa menantikan keajaibaan. Dan Tuhan mengabulkan harapannya. Yayasan Pondok Pesantren Hidayatut Thalibin bersedia menggratiskan biaya pendidikan bagi anak-anak kaum dhu‘afâ’. Ini merupakan program mekanisme keadilan sosial yang paling manusiawi.
Bahkan, di tahun yang sama, ia diberi kesempatan menjadi santri mukim di Pondok Pesantren Hidayatut Thalibin. Mas Ari tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia bergiat diri untuk belajar dan terus belajar secara intens di lingkungan barunya. Ia membuktikan kesungguhannya dalam berbagai hal. Aktivitas membaca dan menulisnya semakin gencar. Dan sebagai bukti nyata, artikelnya pernah menembus media massa (Radar Madura: Jawa Pos Group) melalui bantuan Dr. S. Fathurrosyid, S.Th.I, M.Th.I, PKM. Kesiswaan MA ketika itu.

Deklamator yang Haus Prestasi

Sejak MI, minatnya pada puisi mulai kelihatan. Ia sering tampil membacakan puisi-puisi dalam forum Jam’iyyah al-Khithâbiyyah setiap Kamis malam. Bakat membaca puisi ini membuat ia sering juara pada saat Haflah. Di MTs, minat Mas Ari pada dunia sastra semakin meningkat dengan kehadiran KM. Naufal, S.Pd.I sebagai guru bahasa Indonesia. Kemampuannya juga bertambah pesat, dari semula hanya bisa membaca menjadi bisa menulis.
Memasuki MA adalah masa-masa di mana ia benar-benar haus prestasi. Berbagai ajang festival baca puisi diikutinya, termasuk di gedung RRI Sumenep. Tak heran jika berbagai penghargaan telah ia terima. Ini tentu suatu kebanggaan tersendiri bagi dirinya, keluarga, dan almamater tercinta.

Kuliah Berbekal Tekad

Setamat MA. Hidayatut Thalibin, STAIN Pamekasan merupakan satu-satunya pilihan yang tidak boleh tidak. Padahal, biaya pendaftaran ketika itu sangat mahal, sekitar Rp. 1.200.000. Sementara di saat yang sama, ia hanya mempunyai uang Rp. 700.000. Tetapi, tekadnya untuk berkuliah telah bulat di dadanya. Maka ia berusaha sekuat tenaga untuk mencari sisa biaya pendaftaran.
Di STAIN Pamekasan, saat itu SPP bernilai seharga Rp. 600.000 persemester. Bagi keluarganya yang miskin, uang sebanyak itu tidak mungkin bisa dipenuhi. Tetapi Mas Ari punya satu prinsip, bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Jika keluarganya tidak bisa membantu, satu-satunya jalan ia harus bekerja dan bekerja. Bekerja apa saja selama itu halal, dan pilihannya jatuh pada operator warnet.
Selain bekerja, Mas Ari juga aktif di berbagai organisasi, baik intra maupun ekstra kampus. Hidup di luar, tidak ada yang bisa diandalkan kecuali teman. Semakin banyak teman, semakin menguntungkan. Untuk memperkaya jaringan seperti itu, seseorang perlu bergabung dalam organisasi. Tetapi, Mas Ari punya alasan tersendiri mengapa ia berorganisasi. Katanya, selain untuk silaturrahim dan menambah pengetahuan, berorganisasi juga dimaksudkannya untuk membangun kepribadian.

Menjadi Jurnalis

Potensi jurnalistiknya ditempa pada saat ia bergabung dalam LPM STAIN. Mas Ari memang mencintai kata-kata untuk menemani kebiasaan menulisnya sejak di pondok. Kecintaan inilah yang menggiring ambisinya untuk menjadi seorang jurnalis. Hingga kini, telah banyak berita ia buat untuk Harian Pagi Suara Madura.
Mas Ari menuturkan kunci suksesnya sebelum ia menjadi seperti sekarang: (1) kemauan yang keras; (2) istiqâmah dalam berproses; (3) belajar dari kesalahan; (4) memperbanyak referensi; (5) jangan seperti kacang lupa kulitnya; dan (6) jangan pernah gengsi.