Tuesday, November 20, 2012

MISI MA. Hidayatut Thalibin


a.Mengembangkan ilmu pengetahuan, seni dan budaya yang relevan dengan perkembangan nilai-nilai keislaman.
b.Menyelenggarakan dan melaksanakan sistem pendidikan pondok pesantren dengan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi.
c.Melaksanakan pembelajaran secara klasikal terpadu, akseleratif dan bimbingan secara efektif.
d.Mendidik siswa memiliki kemantapan aqidah dan keunggulan moral.
e.Mendidik siswa untuk mampu mengaktualisasikan nilai-nilai keislaman dalam kehidupan praktis bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
f.Mencetak lulusan yang memiliki kompetensi pengetahuan, skil dan sikap dalam bermasyarakat.

VISI MA. Hidayatut Thalibin

Terciptanya insan kamil (beriman, berilmu, beramal, berakhlaqul karimah, berwawasan teknologi dan berjiwa pesantren serta unggul).

Indikator :
a.  Memiliki lingkungan dan kebiasaan yang Islami
b.  Memiliki sarana pendidikan Keagamaan yang memadai
c.  Memiliki kedisiplinan yang tinggi
d. Berprestasi dalam bidang akademik, olah raga, seni dan budaya

Saturday, March 24, 2012

HIDAYATUT THALIBIN: Sebuah Coretan Sejarah

-->
A.      Kiai Idris Patapan
Kiai Idris adalah tipologi seorang shufi (mistis) yang memiliki pandangan jauh ke depan yang tidak hanya mengandalkan kesalehan individual tetapi juga kesalehan sosial. Dari dua orientasi ini, hampir bisa dipastikan dalam menjalankan segala aktivitasnya beliau senantiasa berharap agar semua geneologinya (cucu) kelak menjadi mutafaqqih fi al-Dini, yaitu orang yang paham agama dan bermanfaat bagi nusa, bangsa dan agama. Untuk mewujudkan mimpi besar ini agar tidak menjadi angan-angan sosial yang utopis, langkah konkrit dan gerakan parksis yang direalisasikan oleh beliau adalah selain bertirakat dan berdo’a fi kulli waktin wa ahyani (sepanjang waktu selama hayatnya), juga mengirimkan putra-putranya untuk studi dan nyantri di pesantren-pesantren terkenal saat itu.
Berkat kecanggihan do’a, ijtihadiah dan seluruh daya upaya yang diterapkan, ternyata idealism beliau itu bukanlah mimpi di siang bolong, melainkan sikap antusias untuk menempa geneologi yang punya prestasi plus prestise tersebut, kini telah membuahkan hasil yang luar biasa, cemerlang nan gemilang. Indikasi konkrit yang bisa dijadikan cermin atas kesuksesan beliau dalam mencetak generasi kreatif-produktif-inovatif dan agamis yaitu hampir seluruh anak cucu beliau yang tersebar di seluruh penjuru pelosok Jawa Timur telah menjadi ulama, cendikiawan muslim dan tokoh-tokoh agama kharismatik.
Inisiatif K. Idris untuk berkiparah dalam bidang pemberdayaan masyarakat melalui jalur pendidikan (education) dan dakwah, embrionya sudah tertanam sejak beliau nyantri di Pondok Pesantren Panggung, Desa Pakamban Daja Sumenep. Konon, saat studi di penjara suci itu, kecerdasan, sikap wira’i, tawaddlu’ dan loyalitasnya menjadi ciri khas tersendiri dan mendarah daging dalam jiwa beliau sehingga membuat teman-teman seperjuangannya terkagum-kagum. Bahkan dari perpaduan ketiga sikap tersebut, tidak heran jika kemudian guru spritualnya (syaikhana) memberikan “servis” superioritas dan prioritas pada “lora kharismatik” ini dengan dijadikan sebagai asisten pribadi (khadam) dan dipercaya untuk mengelola “kebun sirih” mulai dari proses irigasi sampai pada penjualannya.
Hari berganti bulan, bulanpun berganti tahun, kapabilitas Lora Idris kian hari kian mendapat nilai bagus dari Kiai Panggung. Tentu saja, sebagai guru spritualnya Lora Idris, Kiai Panggung tidak ingin santri seniornya ini akan melepas begitu saja “baju kehormatan” sebagai pahlawan pendidikan kelak dikemudian hari setelah terjun ke tengah-tengah masyarakat, sehingga karenanya, Kiai Panggung sangat tertarik untuk menjodohkan santri kesayangannya dengan “bunga desa” asal Lembung Dusun Rembang Desa Pragaan Daja yang bernama Ning Khadijah. Harapan beliau, kiprah Khadijah dalam aktivitas Lora Idris akan semakin mengobarkan ghirah perjuangannya dalam membangun futuristik nusa, bangsa dan agama.
Bak gayung bersambut, Lora Idris sangat bahagia sekali menerima kenyataan dalam mengakhiri masa single-nya. Hal ini dikarenakan gadis yang akan disunting agar menjadi ratu dalam istana rumah tangga bukanlah sembarang orang. Ia adalah perempuan pilihan syaikhana-nya. Dan setelah perkawinannya dengan Ny. Khatijah, K. Idris lebih memilih Lembung Dusun Rembang Desa Pragaan Daja sebagai tempat tinggal dan daerah perjuangan dan pengabdiannya.
Bulan madu telah usai dinikmati bersama, kini tibalah saat-saat K. Idris untuk memulai babak baru yang dirasa sangat berat dan cukup menantang, yaitu melanjutkan aktivitas perjuangan yang pernah ditempanya selama studi di Pesantren Panggung. Langkah awal dalam merintis berdirinya lembaga pendidikan yang dilakukan oleh beliau adalah mewaqafkan rumah kediamannya sendiri untuk dijadikan masjid sebagai sentral dakwah dan menyebarkan Pendidikan Agama Islam yang kemudian popular dengan nama “Masjid Lembung”. Dari masjid inilah masyarakat Pragaan Daja mulai mengenal dan mellek tentang pendidikan ilmu keagamaan (tarbiyyah al-Diniyyah).
Waktu terasa amat cepat sekali berlalu, pada tahun 1930-an, peran Ny. Khatijah mendampingi karier suami tercinta dalam berdakwah kini telah usai. Sang Sutradara Agung, Allah Rabbul’izzah, telah memanggil Ny. Khatijah untuk menghadap kepangkuan-Nya pada usia yang ke-50. Di mata keluarga dan masyarakat, Ny. Khatijah dikenal sebagai sosok ideal wanita muslimah sejati yang mampu berkhidmat secara ikhlas. Tenaga, materi, waktu dan pikiran beliau korbankan demi kesuksesan jihad, ijtihad dan mujahadah suami tersayang. Ketika K. Idris mendapat tugas yang berat, Ny. Khatijah meneguhkan hati dan menambahkan kepercayaan dirinya. Ketika K. Idris didustakan dan dilecehkan masyarakatnya, Ny. Khatijah mampu meyakinkannya dengan tulus. Tetapi kini semuanya hanyalah tinggal kenangan yang sulit untuk dilupakan. Allahumma Ighfirlaha Warhamha Wa ‘Afiha Wa’fu ‘Anha.
Dari hasil perkawinannya dengan Ny. Khatijah, K. Idris dikaruniai 4 (empat) generasi (putra-putri) sebagai berikut:
1.      K. Khatib (Sesepuh Pondok Pesantren Al-Amien, Prenduan Pragaan Sumenep)
2.      K. Hafidzuddin (Sesepuh Pondok Pesantren Hidayatut Thalibin, Rembang Pragaan Daja Pragaan Sumenep)
3.      Ny. Nursiti (Sesepuh Pondok Pesantren Al-Karawi, Karay Ganding Sumenep)
4.      Ny. Qamariyah (Sesepuh Pondok Pesantren An-Nuqayah, Guluk-Guluk Sumenep)
Semenjak kepergian partner sejatinya, predikat “bujang” bagi K. Idris bukanlah satu-satunya alasan untuk hengkang dari dunia pendidikan. Dalam kondisi yang demikian, beliau justru semakin gencar melakukan ekspansi area dakwahnya ke luar daerah. Namun apa boleh buat, daya tampung kesibukan aktivitas berdakwah ternyata belum cukup umur untuk dijadikan “terapi mujarab” mengusir rasa kesepian yang kian menggerogoti dalam lubuk hatinya yang paling dalam, hingga suatu ketika, terbersitlah ide-ide kreatif K. Idris untuk menyunting perempuan lain sebagai partner kedua yang akan menggantikan posisi Ny. Khatijah dalam memberikan support pada setiap derap langkahnya. Melalui do’a dan ikhtiar yang cukup ihtiyath, “kartu” pilihan untuk menggaet pasangan hidup, ternyata jatuh ke tangan adik iparnya sendiri yang bernama Ning Aminah.
Belum genap satu tahun K. Idris mengarungi bahtera kehidupan bersama Ny. Aminah, inspirasi untuk memfokuskan concern perjuangan di daerah lain kembali mencuat ke permukaan. Setelah berkali-kali melakukan sharing ide dengan putra-putrinya, akhirnya disepakatilah secara aklamasi bahwa Dusun Patapan Desa Guluk-Guluk Sumenep adalah tempat yang sangat strategis untuk menggalang massa guna melebarkan sayap pemberdayaan pendidikan yang selalu mengalir derah dalam jiwanya. Ditempat baru inilah K. Idris dikenal dengan julukan “K. Idris Patapan” dan ditempat ini pulalah beliau mengakhiri hayatnya dan dimakamkan di sana. Selamat Tinggal. Allahumma Latahrimna Ajrahu Walataftinna Ba’dahu Waghfirlana Walahu.
B.      Kiai Hafidzuddin dan Masyarakat Pragaan Daja
Semenjak kepindahan K. Idris ke Dusun Patapan, Pendidikan “Masjid Lembung” diserahkan kepada putra keduanya K. Hafidzuddin sebagai pemegang tongkat estafet pertama, karena ketiga saudara lainnya, masing-masing K. Khatib dan Ny. Qamariyah pindah ke Desa Prenduan, sementara Ny. Nursiti ikut suaminya ke Desa Karay Ganding Sumenep.
K. Hafidzuddin dalam usaha melanjutkan pendidikan yang ditinggalkan ayahandanya, mencoba mengembangkan sistem/pola pendidikan yang tidak hanya terbatas pada kegiatan pengajian di masjid, beliau juga membentuk kelompok-kelompok pengajian agama (jam’iyah) guna memberikan pendidikan agama kepada masyarakat Pragaan Daja yang notabene pada masa itu sangat kolot, primitif, dan rendah pengetahuan. Disamping itu pula, beliau membentuk kelompok-kelompok pengajian dalam rangka memberikan kesempatan yang sama kepada masyarakat yang jauh dari masjid Lembung untuk menimba ilmu pengetahuan agama.
Model dakwah yang dikembangkan oleh K. Hafidzuddin adalah pendidikan tidak lagi disentralkan di Masjid Lembung, tetapi langsung ke kelompok-kelompok sosial masyarakat seperti halnya belajar shalat dan pengamalan mitos-mitos keagamaan.
K. Hafidzuddin menurunkan 6 (enam) generasi putra-putri sebagai berikut:
1.      K. Fadlillah (PP. Hidayatut Thalibin Rembang Pragaan Daja)
2.      K. Bukhari (PP. Salafiyah Jember)
3.      Ny. Zahroh (Ruberruh Prenduan)
4.      K. Imamuddin
5.      K. Muhammad Ilyas
C.      KH. Fadlillah dan Awal Berdirinya PP. Hidayatut Thalibin
Semenjak wafatnya K. Hafidzuddin, tongkat estafet selanjutnya diserahkan kepada putra pertamanya KH. Fadlillah, pada fase inilah pola Pendidikan Pesantren mulai diperkenalkan, dan mengembangkan sistem santri muqim (nginap). Mula-mula beliau mewajibkan santri ngaji sambil bermalam di masjid dan diberi tambahan pengajian kitab kuning (turats).
Pengajian-pengajian agama yang sudah dirintis oleh K. Hafidzuddin (ayahandanya) lebih dilebarkan sayapnya oleh beliau sampai ke desa-desa tetangga, seperti Pragaan Laok, Jaddung, Prenduan dan Guluk-Guluk, dan model pengajian pun ditambah, mulai jam’iyah tadarrus, shalawat sampai pada manaqib dan pengajian kitab.
Dengan hadirnya KH. Fadlillah di tengah-tengah masyarakat Pragaan Daja dan sekitarnya dapat mengobati kerinduan masyarakat kepada K. Hafidzuddin (ayahandanya) di mana beliau dikenal sangan dekat dengan masyarakat, konsisten (istiqomah) dan sangat loyal terhadap masyarakat kecil. Sosok KH. Fadlillah adalah sosok “Kiai Seppo Lembung”. Itulah predikat yang disandangnya dari urusan agama sampai urusan duniawi. KH. Fadlillah menjadi sosok penuntun masyarakat Pragaan Daja secara keseluruhan.
Sejak tahun 1940-an Pendidikan Masjid Lembung yang dikelola oleh KH. Fadlillah, pengelolaannya dibantu oleh menantu beliau KH. Abd. Mannan (dari Kalabaan Guluk-Guluk Sumene).
KH. Fadlillah yang dikenal santun dan tawaddhu’ banyak mendapat simpati dari masyarakat, sehingga banyak masyarakat yang menitipkan putra-putrinya untuk dibina dan diajari oleh beliau, dan tidak sedikit yang mondok, karena sistem muqim ini dirasa lebih efektif dan terjamin.
Dari hasil perkawinannya dengan Ny. Hj. Salma dari Kembang Kuning Pamekasan, KH. Fadlillah menurunkan 6 (enam) generasi putra-putri sebagai berikut:
1.      Ny. Zuhriyah (PP. Hidayatut Mubtadi’in Pancoran Pamekasan)
2.      Ny. Qina’ah (PP. Hidayatut Thalibin Rembang Pragaan Daja Sumenep)
3.      K. Ahmad Najib (wafat dalam agresi Belanda)
4.      Ny. Romlah (PP. Hidayatut Thalibin Rembang Pragaan Daja Sumenep)
5.      K. Muzanni (wafat masih kecil)
6.      KH. Bahrawi (PP. Al-Ishlah Daleman Ganding Sumenep)
D.      KH. Abd. Mannan sebagai Pengasuh Pertama PP. Hidayatut Thalibin
Sepeninggalnya KH. Fadlillah (pada tahun 1952) tongkat estafet kembali berpindah tangan, kini gilirannya menantu beliau sebagai pemegang utama, KH. Abd. Mannan (suami Ny. Qina’ah) terpanggil untuk melanjutkan kepemimpinan Pesantren Lembung, karena pada saat itu putra-putri KH. Fadlillah rata-rata masih belum dewasa, dan sebagian ada yang ikut suaminya.
Secara pelan tapi pasti KH. Abd. Mannan mencoba memperkenalkan pola pendidikan modern (al-Nizam al-Tarbiyyah al-Khalafiyyah) dengan membentuk pola pendidikan klasikal, dan sejak kepemimpinan beliaulah, dengan hasil istikharoh, nama Pendidikan Masjid Lembung diberi nama “Lembaga Pendidikan Hidayatut Thalibin”. Dan pada masa inilah cikal-bakal berdirinya Pondok Pesantren Hidayatut Thalibin secara formal dan lebih modern diterapkan.
Dedikasi dan kontribusi KH. Abd. Mannan tidak hanya memusatkan perhatiannya kepada Pendidikan Pesantren an-sich, kelompok-kelompok pengajian pun di masyarakat terus diberdayakan, mulai pengajian agama bahkan kesenian, seperti samman, shalawatan dan kerja bakti sosial. Salah satu kesuksesannya adalah dibangunnya jalan raya dari daerah Sumber Pandan Prenduan menuju lokasi PP. Hidayatut Thalibin Lembung Pragaan Daja. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan jalur transportasi dan akulturasi budaya.
Nama KH. Abd. Mannan semakin popular sejak didirikannya Lembaga Pendidikan klasikal dengan kurikulum full diniyah (keagamaan) pada tahun 1960. Dan tiga tahun kemudian beliau membangun gedung madrasah ibtidaiyah sebanyak 7 lokal di atas tanah milik Bapak Suno yang diwaqafkan kepada beliau, kendati sebelumnya beliau telah menyelesaikan renovasi Masjid Lembung yang dibangun oleh mertuanya.
Pada tahun 1976 Lembaga Pendidikan Hidayatut Thalibin sebagai satu-satunya Lembaga Pendidikan di Desa Pragaan Daja mendapat kepercayaan yang luar biasa dari masyarakat, ditandai dengan membludaknya santri baru yang tidak mungkin dikelola sendiri oleh KH. Abd. Mannan, sehingga karenanya beliau tertuntut untuk mendatangkan guru bantu dari desa/kecamatan tetangga ditambah santri-santri senior untuk membantu beliau.
Pada masa ini, KH. Bahrawi (adik ipar) juga memberikan andil yang cukup besar dalam membangun Hidayatut Thalibin, sehingga sepulangnya KH. Zubairi (putra sulung KH. Abd. Mannan) dari PP. Balado Probolinggo, dan K. Moh. Maimun (putra kedua KH. Abd. Mannan) dari PP. Al-Anwar Lesung Rembang Jawa Tengah, secara bersama-sama mengajukan ijin operasional kepada Departemen Agama untuk memperoleh ijin dari pemerintah, sehingga pada tanggal 20 Maret 1978 diterbitkan Piagam TERDAFTAR Departemen Agama untuk Madrasah Ibtidaiyah Hidayatut Thalibin, dengan piagam Madrasah Nomor : L.m./3/4201/A/1978.
E.      K. Moh. Maimun Mannan; Sebuah Kegelisahan Intelektual
Mulai sejak terdaftarnya Madrasah Ibtidaiyah Hidayatut Thalibin, berkat petunjuk dan bimbingan PPAI (Pengawas Pendidikan Agama Islam) Kecamatan Pragaan Madrasah Ibtidaiyah dengan segala kekurangan, sistem pengelolaan dan administrasi dapat terbenahi, sehingga pada tahun 1986 diangkatlah K. Moh. Maimun (putra kedua KH. Abd. Mannan) sebagai Kepala Madrasah yang kedua.
Restrukturisasi pola kepemimpinan ini rupanya mempunyai dampak positif terhadap proses pembelajaran dan pelaksanaan pendidikan dilingkungan Madrasah Ibtidaiyah setapak demi setapak mulai terasa, gairah untuk semakin mengepakkan sayapnya kian giat digerakkan dan dengan segala jerih payah, kerja keras beliau serta dukungan para guru senior saat itu, terbitlah piagam Madrasah Tsanawiyah dengan status TERDAFTAR pada tanggal 13 Mei 1993, dan pada tanggal 17 Juli 1997 terbit piagam dengan status TERDAFTAR untuk MA. Hidayatut Thalibin.
Sementara pada tahun 1992, Pondok Pesantren Hidayatut Thalibin kembali membuat kebijakan baru untuk menampung aspirasi dan desakan dari masyarakat agar membuka dan mengelola lembaga Raudlatul Athfal (RA), sehingga pada saat itu pulalah pihak pengurus lembaga juga berusaha semaksimal mungkin agar diupayakan menjadi lembaga yang diakui pemerintah, dan Al-Hamdulillah dengan didukung oleh tenaga yang professional akhirnya lembaga RA mendapat restu dari pemerintah dengan status TERDAFTAR pada tanggal 26 Januari 1999.
Geliat pengurus PP. Hidayatut Thalibin untuk semakin memperjuangkan lembaga tercinta menjadi lembaga yang bonafide semakin menampakkan sinyal yang cukup kuat, sehingga pada tanggal 20 Juni 1995 Madrasah Ibtidaiyah terakreditasi dengan status DIAKUI dengan Nomor : Mm.30/05.03/PP.03.2/1840/1995, bahkan dengan kehebatan lobi-lobi yang dilakukan oleh pengelola lembaga, tanggal 22 Juni 2003 Madrasah Tsanawiyah terakreditasi juga dengan status DIAKUI dengan Nomor : Wm.06.04/PP.03.02/129/SKP/2003.
Posisi PP. Hidayatut Thalibin di bawah tampuk kepemimpinan K. Moh. Maimun Mannan semakin akrab di mata masyarakat. Hal ini disebabkan kapabilitas dan kreativitas beliau dalam mengemas dan memenej lembaga pendidikan yang tidak hanya terkonsentrasikan pada model pendidikan salafiyah (klasik) tetapi juga mampu mengadopsi model pendidikan khalafiyah (modern). Salah satu ijtihad beliau untuk mengurangi dikotomisasi pendidikan yang selama ini gencar dikampanyekan oleh mazhab status quo pesantren (baca; salafiyah) yaitu dibukanya Lembaga Pendidikan Umum yang diselenggarakan pada pagi hari mulai dari RA, MI, MTs dan MA. Sementara untuk mempertahankan ciri khas Pondok Pesantren yang berafiliasi dengan disiplin keilmuan Timur Tengah, selain membuka program intensif (santri muqim) agar para santri mampu membaca dan mengkaji teks-teks arab (turats/canon) beserta pisau bedahnya (metodologi) semisal ilmu Nahwu, Balaghah, Sharraf, Mantiq dan grammar lainnya juga beliau membuka Lembaga Pendidikan Agama (LPA) yang diselenggarakan pada sore hari mulai dari tingkat Isti’dadiyah, Awwaliyah, Wustha sampai pada tingkat ‘Ulya.